Abstract
This article seeks to critically examine the use of
communication strategies in development planning. Understanding of
communication in development narrowly has been
marginalize communication functions.
Communication is not just a tool for social change, but also as an
integral part in the processes of development, ranging from the introduction of
community needs, planning, programming, implementation and evaluation.
Communication involves the active participation of the community, there is a dialectic of intensive communication between people, agents of change, and governments to formulate development programs. In Participatory Rural Comunication Appraisal (PRCA) method, communication is no longer a mere support development but it is an important point in development through a participatory approach to communication strategy.
Keywords: Communication strategy, Development, Social change, Participation
A.
PENDAHULUAN
Tulisan ini berusaha memberikan sebuah perspektif
alternatif dalam menempatkan komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat. Agar
kajian konseptual ini memiliki landasan ilmiah dan fokus maka tulisan ini
diawali dari mereview dan memberikan beberapa catatan penting mengenai penelitian Ricardo Ramirez dan Wendy Quarry[2] yang berjudul “Communication strategies in the age of decentralisation and
privatisation of rural services: lessons from two african experiences”. Penelitian ini dilakukan di Uganda mengenai kasus Strategi Komunikasi dan Informasi
untuk Program Pelayanan Bimbingan Pertanian Nasional (NAADS) dan penelitian di
Mozambik mengenai Formulasi Perencanaan untuk Mengkomunikasikan Kebijakan Air
Nasional (NWP) dan Perencanaan Transisi Air Pedesaan.
Pada penelitian tersebut, Ramirez dan
Quarry berusaha menggambarkan tantangan desentralisasi dan privatisasi
pelayanan di pedesaan dari perspektif strategi komunikasi pembangunan. Termasuk
memaparkan beberapa prinsip-prinsip desain strategi lainnya dan meninjau
pentingnya perencanaan dan penelitian komunikasi.
Secara khusus, kedua penelitian ini berusaha
untuk fokus pada pengembangan strategi komunikasi yang memungkinkan organisasi-organisasi
lokal mempelajari cara-cara setempat dalam melaksanakan pembangunan dengan harapan bahwa dengan
strategi-strategi ini, mereka akan mampu untuk mengatur perencanaan seraya memperbaiki kondisi masyarakat. Pendekatan
ini berbeda dengan berbagai proses konsultasi konvensional dimana suatu hasil
akhir seringkali hanya dokumen-dokumen pelaksanaan organisasi, dengan keterbatasan keterampilan dalam hal kepemilikan dan pengaturan
perencanaan. Pendekatan ini menekankan pada pembangunan kapasitas dalam kerjasama
organisasi dan bergantung pada kontunuitas staf atau agen pembangunan dalam menangani detail formulasinya.
Tulisan ini hanya fokus
pada tinjauan mengenai penelitian komunikasi partisipasi yang dilakukan dalam
menyusun dan mendesain perencanaan komunikasi pada penelitian Ramirez dan Quarry.
B. TEMUAN DAN BEBERAPA CATATAN PENTING
- Temuan Penelitian dan Pelaksanaan Kebijakan
Penelitian yang
dilaksanakan oleh Ramirez dan Quarry (2004) menunjukkan bahwa komunikasi
pembangunan di kedua tempat mempunyai
perbedaan, ia memiliki fungsi yang saling melengkapi – jauh lebih baik dari
hubungan masyarakat. Dalam strategi komunikasi dan informasi (yang merupakan
bagian dari komunikasi pembangunan) akan lebih membicarakan tujuan pembangunan
sumberdaya manusia, penyelenggaraan organisasi dan pelaksanaan di lapangan,
khususnya keterampilan dalam merencanakan dan mengelola strategi-strategi
penting. Dalam penelitian ini menggunakan penelitian khalayak yang merupakan basis awal untuk mempelajari pengetahuan para pihak yang telah
ada, saluran komunikasi apa yang mereka akses, dan kombinasi media apa yang merespon saluran
tersebut. Strategi komunikasi
pembangunan mengikuti desain prinsip dasar yang telah disaring dari
praktek/kegiatan yang telah dan sedang dilaksanakan.
Pelaksanaan kebijakan
menekankan bahwa pembangunan
yang efektif membutuhkan perencanaan komunikasi, karena privatisasi dan
desentralisasi pelayanan pedesaan secara tidak langsung merubah keterampilan,
sikap dan hubungan-hubungan secara fundamental dan strategi komunikasi dapat
membantu mengartikulasikan transisi ini. Bagaimanapun juga kegiatan komunikasi membutuhkan perencanaan yang didasarkan
dari penelitian karena disadari bahwa tidak ada cetak biru untuk membuat arah
transisi desentralisasi yang menuntun kampanye
pelayanan, tetapi komunikasi dapat
membantu pengembangan strategi-strategi untuk mengidentifikasi siapa yang
membutuhkan apa, dimana dan bagaimana – untuk tingkat strategi komunikasi yang
luas, pekerjaan-pekerjaan seperti manajemen audit dilakukan dengan menyoroti
tantangan-tantangan dan menyediakan solusi.
Melibatkan agen perubahan secara kontinu dalam formulasi strategi komunikasi
dan pelaksanaannya sangat dibutuhkan – namun ini tidak memungkinkan, terdapat kecenderungan bagi agen-agen untuk melakukan penawaran terhadap pelaksanaan kerja dan menghilangkan kesempatan untuk mengelola dan mengadaptasi suatu
strategi untuk pengembangan masyarakat. Penelitian menunjukkan bahwa tidak ditemukan sebuah prestasi yang
berarti dan menjanjikan dalam kasus Uganda. Sementara, kontinuitas kerja
di Mozambik lebih problematik.
- Beberapa Pemikiran yang Terkait
Berhubungan dengan pengembangan desain perencanaan dan strategi
komunikasi, maka ada berbagai pemikiran yang mendasari pentingnya penguatan
dimensi komunikasi dalam bekerja dengan komunitas dan masyarakat dengan tujuan
perubahan sosial. Rockefeller Foundation
(2001) mendefinisikan Komunikasi untuk perubahan sosial sebagai suatu proses
dialog masyarakat dan pemerintah untuk
mendefinisikan siapa mereka, apa yang mereka inginkan dan bagaimana mereka
dapat mencapainya. Sebagai tambahan, hal ini diarahkan sebagai garis besar keterampilan
dan perlengkapan yang dibutuhkan
di lapangan, persiapan untuk petunjuk kerja pelaksanaan,
persetujuan yang terukur, dan pembentukan beberapa jaringan kerja yang saling berhubungan.
Keterlibatan unsur komunikasi seharusnya mampu mengeksplorasi bentuk
komunikasi yang terintegrasi dalam norma sosial masyarakat karena ia merupakan
bagian dari budaya lokal dan cara-cara komunitas dan masyarakat tersebut berhubungan. Di sini, komunikasi
seharusnya juga terkait dengan analisis jaringan informasi dan sumberdaya
komunikasi dan informasi yang dimiliki komunitas maupun masyarakat. Untuk itu
perancangan strategi perencanaan pembangunan dengan perspektif komunikasi perlu
didasarkan pada beberapa hal berikut:
a. Fungsi Komunikasi: Sosial dan Instrumental
Scheidel (1976) mengemukakan bahwa orang-orang berkomunikasi terutama
untuk menyatakan dan mendukung identitas diri, untuk membangun kontak sosial
dengan orang di sekitarnya dan untuk mempengaruhi orang lain untuk merasa,
berpikir, atau berperilaku seperti yang diinginkan. Namun tujuan dasar berkomunikasi adalah untuk mengendalikan
lingkungan fisik dan psikologi. Hampir senada dengan di atas, Zimmerman, et.
all (1977) menyatakan bahwa terdapat dua kategori besar tujuan orang
berkomunikasi, yaitu untuk menyelesaikan tugas-tugas yang penting bagi
kebutuhannya dan untuk memupuk dan menciptakan hubungan dengan orang lain. Dari
berbagai pernyataan tersebut, maka hal yang paling penting untuk digarisbawahi
adalah komunikasi membantu individu
untuk mengenal kebutuhan dan permasalahannya, mencari solusi atas permasalahan
dengan menjalin hubungan dengan orang lain.
Mulyana (2005) bahkan menyimpulkan adanya empat fungsi komunikasi,
yaitu: fungsi pertama komunikasi sebagai komunikasi sosial, fungsi kedua
komunikasi sebagai komunikasi ekspresif, fungsi ketiga komunikasi sebagai
komunikasi ritual, dan fungsi komunikasi keempat sebagai komunikasi
instrumental. Untuk memahami desain perencanaan pembangunan dengan basis
pendekatan komunikasi, maka dua fungsi komunikasi diantaranya harus dipahami
terlebih dahulu. Fungsi komunikasi sosial menurut Mulyana (2005) setidaknya
mampu membangun konsepsi diri, aktualisasi diri untuk kelangsungan hidup, untuk
memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan, antara lain
lewat komunikasi yang menghibur dan berhubungan dengan orang lain.
Bagaimanapun juga komunkasi-lah yang
memungkinkan individu membangun kerangka rujukan dan menggunakannya sebagai
panduan untuk menafsirkan situasi apapun yang dihadapi. Komunikasi pula yang
memungkinkan individu mempelajari dan menerapkan strategi-strategi adaptif
untuk mengatasi situasi-situasi yang problematik. Setiap kelompok masyarakat mempunyai bentuk-bentuk komunikasi dan
strategi-strategi yang berbeda dalam menghadapi situasi yang demikian. Salah satu jenis komuniksi yang implisit dalam fungsi komunikasi sosial
adalah komunikasi kultural. Edward T. Hall (Mulyana, 2005) menuliskan bahwa
pada satu sisi komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan
norma-norma budaya masyarakat baik secara horizontal maupun vertikal dari satu
generasi ke generasi berikutnya.
Pewarisan norma dari satu generasi ke generasi tentu pula diikuti oleh pewarisan pengetahuan
endogenous yang tumbuh sebagai
kearifan lokal pada masyarakat tertentu yang membentuk perilaku komunikasi di
kalangan mereka sendiri. Permasalahannya adalah komunikasi berangkat dari fakta
bahwa kelompok-kelompok budaya atau subkultur-subkultur yang ada dalam suatu
budaya mempunyai perangkat norma dan nilai, yang berlainan. Oleh karena itu
pendekatan yang dilakukan dalam pembelajaran dengan masyarakat hendaknya menggunakan
pendekatan yang holistik.
Salah satu pendekatan demikian dilakukan dalam Participation Action Research (PAR) yang mana menurut Melkote
& Steeves (2001) berusaha melakukan penyadaran pada pengetahuan popular,
menolak pembangunan dengan perspektif dominan, dan menciptakan ruang bagi
kelompok-kelompok yang terpinggirkan untuk mempengaruhi perubahan sosial. Pendekatan
ini didukung oleh ideologi
yang mendorong usaha-usaha endogenous
dan pemimpin lokal agar berperan dalam perubahan sosial dengan menggunakan
praxis mereka sendiri. Pengetahuan dari generasi ke generasi yang dipraktekkan
dipilih berdasarkan sistem verifikasi yang dihasilkan oleh pengetahuan natural
(dalam pandangan mereka) yang menjadi panduan dalam bertindak dengan
menggunakan metode-metode yang berasal dari masyarakat itu sendiri. Dengan
demikian, pada prakteknya pendekatan komunikasi berlangsung dalam konteks lokal,
menggunakan bahan dan media lokal, teknik dan metode lokal serta dilakukan oleh
orang-orang atau organisasi lokal, yang tentu saja difasilitasi oleh agen
perubahan.
Fungsi komunikasi instrumental bertujuan untuk menginformasikan,
mengajar, mendorong, mengubah sikap dan keyakinan, dan mengubah perilaku atau
menggerakkan tindakan, dan juga untuk menghibur (Mulyana, 2005). Kesemuanya merupakan
tindakan persuasif. Cara
komunikasi tersebut bila direncanakan dan didesain sedemikian rupa sesuai
dengan kebutuhan masyarakat dengan menggunakan media yang tepat dapat
bermanfaat untuk membantu mempercepat proses perubahan sosial.
b. Partisipasi dan Komunikasi
Post strukturalisme,
post modernisme
dan teori komunitarian memberikan dasar asumsi strategi partisipatori. Post
strukturalisme
menekankan pentingnya melibatkan masyarakat dalam proses-proses pengambilan
keputusan dalam pembangunan, post
modernisme
melihat pembangunan sebagai pendekatan humanis yang menekankan perlunya
pembangunan manusia, sementara teori komunitarian memandang bahwa pembangunan
merupakan kepentingan masyaarkat
karenanya mereka mempunyai hak untuk menentukan pilihan-pilihan atas proses dan
pelaksanan pembangunan. Ketiganya membangun asumsi bahwa partispasi adalah
pendekatan akhir atau tujuan dari pembangunan, hal ini sekaligus membantah
asumsi paradigm dominan yang menyatakan bahwa partisipasi adalah alat dalam
meraih tujuan pembangunan. Partisipasi
menurut Diaz-Bordenave adalah hak dasar karena manusia butuh berpikir,
menyatakan dirinya, kelompoknya, dikenali sebagai seseorang, dihargai dan
dihormati, dan mengatakan pendapat di dalam keputusan-keputusan penting yang
mempengaruhi hidupnya (Melkote & Steeves, 2001)
Perubahan paradigma dalam memandang partisipasi oleh Oakley
et al disebutkan sebagai upaya
memberdayakan rakyat untuk berpartisipasi dalam
pembangunan mereka sendiri secara lebih berarti serta menjamin
peningkatan peran rakyat dalam inisiatif-inisiatif pembangunan. Fokusnya pada
peningkatan kemampuan rakyat untuk berpartisipasi bukan sekedar mencapai
tujuan-tujuan proyek yang sudah ditetapkan sebelumnya. Partisipasi dipandang
sebagai suatu proses jangka panjang. Partisipasi sebagai tujuan, relatif lebih
kreatif dan dinamis (Ife & Tesoriero, 2008)
Dalam pendekatan partisipatori, melembagakan komunikasi
sangat pentingi. Apabila pembangunan berkaitan dengan manusia maka
perencanaannya harus dimulai dengan mencari tahu kebutuhan-kebutuhan dan
permasalahan riil yang ada. Namun sampai dekade 80-an masyarakat belum mampu
mengidentifikasi karena tidak adanya partisipasi yang murni dalam penyusunan
strategi pembangunan untuk memperbaiki kondisi ini. Sebagai alternatif, komunikasi bottom
up sudah sering dilakukan namun seringkali kehilangan makna karena
kurangnya unsur utama model komunikasi yaitu saluran komunikasi dialogis
(komunikasi dua arah antara masyarakat dan pemerintah, atau antara masyarakat
dan agen pembangunan)
dalam perencanaan program yang sesuai. Hal ini penting diketahui oleh perencana
pembangunan bahwa komunikasi merupakan proses dialog yang bersifat
interaksional dan transaksional.
Pandangan tersebut didukung oleh salah satu
pendekatan komunikasi partisipatori, yaitu dialogical paedagogy
yang diperkenalkan oleh Paulo Freire (Servaes, 1996). Pandangan ini menyatakan
bahwa ada dua strategi teoritis yang perlu diperhatikan, strategi teoritis
pertama menyatakan bahwa orang-orang harus diperlakukan sebagai subjek
kemanusiaannya dalam berbagai proses-proses politik (dipengaruhi oleh
Existensialisme Sarte). Strategi kedua menyatakan bahwa manusia mempunyai takdir lebih daripada hidup
sebagai pemenuhan kebutuhan material (suatu momen dari harapan utopia yang
didapatkan dari Marx). Dalam bagian ini pula, Freire menekankan bahwa peluang
individual tidak memiliki solusi atas situasi umum dari kemiskinan dan
keterpinggiran budaya. Oleh karena itu harus diusahakan secara kolektif
Diaz Bordinave mencatat
bahwa dalam pendekatan ini, partisipasi
seringkali diharapkan secara langsung oleh sumber dan agen perubahan, Dalam
pendekatan Bottom up orang-orang
dibujuk untuk mengambil bagian di dalam aktivitas mandiri, tetapi penyelesaian
permasalahan lokal dipilih oleh agen pembangunan eksternal. Partisipasi
orang-orang diarahkan. Padahal sasaran partisipasi tidak hanya bersifat
pragmatis tapi juga lebih kepada kemandirian masyarakat. (Melkote &
Steeves, 2001). Tujuan
usaha-usaha partisipasi harus memudahkan orang-orang mencermati secara
bersamaan perbedaan sosial, politik, dan ruang-ruang struktur dalam masyarakat.
Perhatian dan kegiatan kolektif masyarakat untuk merasakan
kebutuhan-kebutuhannya, mengidentifikasi keterbatasan-keterbatasan, menunjukkan
permasalahan-permasalahan dan merencanakan permasalahannya.
Oleh karenanya pendekatan saluran komuikasi ini digunakan
untuk menghasilkan dialog, untuk membantu orang-orang memahami satu sama lain
dan mengidentifikasi permasalahan mereka secara kolektif. Mengembangkan fungsi
komunikasi, yaitu dengan mengembangkan
anggota kelompok dan masyarakat untuk mengubah situasi mereka sendiri.
c. Strategi Perencanaan Komunikasi partisipatori
Ramirez dan Quarry telah memaparkan beberapa
prinsip yang dianggap relevan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan proyek/
program namun sebagaimana yang telah mereka tekankan bahwa beberapa dari
prinsip tersebut bisa saja relevan pada studi kasus tertentu namun tidak
relevan pada kasus yang lain. Namun pada dasarnya prinsip-prinsip tersebut
berusaha mengakomodasi berbagai kebutuhan dan permasalahan komunitas dan
masyarakat pada level bawah dengan menggunakan pendekatan perencanaan dan
strategi komunikasi. Pada kasus di Uganda dan Mozambik, strategi komunikasi
membantu mengembangkan tema-tema dan isu-isu yang dikomunikasikan, membantu
memahami konteks dimana komunikasi berlangsung, dan mengidentifikasi siapa saja
yang memungkinkan bekerjasama dalam membangun proses komunikasi.
Pada dasarnya,
pelaksanaan program sebagaimana hasil penelitian di Uganda dan Mozambik
menggunakan strategi perencanaan komunikasi partisipatori. Pelaksanaan strategi
komunikasi partisipatory menekankan pada kerjasama,
pembagian pengetahuan yang sama antara masyarakat dengan agen penunjang
pembangunan dalam konteks budaya lokal, hal ini identik dengan model
pemberdayaan. Hanya saja ada berbagai kelemahan yang mengikuti
apabila perencanaan dan desain pelaksanaan komunikasi pembangunan menuntut
intervensi yang besar dari pengambil kebijakan dan agen perubahan. Di Mozambiq
contohnya, pelaksanaan program yang berkesinambungan menjadi permasalahan yang problematik,
hal ini terjadi karena adanya kebutuhan
untuk melibatkan staf atau agen secara kontinuitas dalam formulasi strategi komunikasi dan
pelaksanaannya, padahal kondisi ini seringkali berakhir hanya karena berbagai
pertimbangan pembiayaan.
Dalam situasi yang problematik demikian,
pendekatan PAR memiliki solusi dengan mendidik dan
mengajarkan masyarakat untuk terlibat langsung dalam proses-proses mulai dari
perencanan, penyusunan, pelaksanaan, evaluasi dan monitoring program. Sehingga
partisipasi yang dibutuhkan adalah partisipasi masyarakat secara total, bukan
partisipasi yang dimobilisasi. Masyarakat diharapkan mampu mandiri dan tidak
bergantung pada pemerintah dan agen pembangunan. Melkote & Steeves, (2001)
menyebutkan bahwa Indikator keberhasilan
PAR adalah ketika proses perubahan sosial bergerak tanpa kehadiran agen
eksternal, masyarakat lokal secara
mandiri mengetahui persoalan, kebutuhan dan menemukan solusi dengan metode yang
berangkat dari pengetahuannya sendiri.
Dalam menggerakkan partisipasi masyarakat, PAR cukup berhasil. Hanya
saja kemudian ditemukan bahwa PAR tidak cukup mengakomodasi berkembangnya
jaringan komunikasi dan informasi komunitas dan masyarakat. PAR juga cenderung
tidak menggali lebih dalam sumberdaya komunikasi dan informasi di dalam
komunitas dan masyarakat. Padahal ini penting untuk keberlanjutan proses
pembangunan masyarakat, karena dengan mengetahui jaringan dan sumberdaya
komunikasi dan informasi maka desain perencanaan komunikasi yang tepat dapat
dikembangkan melalui pemilihan model komunikasi dan media yang bermanfaat.
Dalam Development support communication (DSC) juga menawarkan
sebuah model dalam proses pemberdayaan masyarakat. Dimana pada awal proses
pemberdayaan peran DSC adalah sebagai fasilitator yang memungkinkan penguatan
kapasitas masyarakat, sebagai kolaborator dalam hal saluran komunikasi bagi
masyarakat dan pembela masyarakat dalam membantu mengakses sumberdaya dan
memecahkan permasalahan mereka. Dengan peran ini agen DSC mempunyai cukup besar
intervensi.
Namun pada akhirnya proses pemberdayaan ini mengarahkan masyarakat
untuk mandiri dimana akses terhadap sumber daya dan kontrol perubahan tidak lagi mutlak berada ditangan
orang-orang dan organisasi yang berada di luar masyarakat itu sendiri.
Perubahan dipengaruhi dengan bertambahnya agenda keterlibatan anggota
masyarakat dalam perencanaan dan proses
pembangunan. Sementara itu, peran agen DSC bergeser hanyalah sebatas
memfasilitasi berbagai kebutuhan
masyarakat dan tempat berkonsultasi,
sehingga ia berada diluar lingkaran proses perencanaan dan pengambilan
keputusan.
Skenario ini cukup menarik
untuk dikembangkan dalam proses pemberdayaan masyarakat dimana akhirnya
masyarakat dapat membentuk organisasi yang solid di level bawah, dan diharapkan
mandiri dalam menganalisis kebutuhannya, permasalahannya, mempunyai kemampuan
untuk mengakses sumberdaya dalam rangka memecahkan permasalahan dan memenuhi
kebutuhan serta mengontrol proses-prosesnya. Pandangan ini mendukung pendekatan
yang dikembangkan oleh UNESCO, yaitu gagasan mengenai akses, partisipasi, dan
pengelolaan sendiri. Gagasan ini menurut Servaes (1996) menjadi teori normatif
dalam komunikasi alternatif. Akses mengarah pada penggunaan media, untuk
pelayanan publik. Partisipasi secara langsung adalah keterlibatan publik dalam sistem
komunikasi pada level yang lebih besar. Dan pengelolaan sendiri adalah
keberlanjutan dari partisipasi.
Sebagai contoh misalnya di India, edisi surat kabar
lokal adalah saluran informasi penting bagi agen pembangunan pada level desa.
Organisasi masyarakat telah mampu mengelola berita-berita masyarakat, termasuk
berita mengenai perempuan, seperti mempublikasikan isu-isu kenaikan gaji pada
masyarakat luas. Pembangunan yang dilaporkan untuk memberikan transparansi
dalam dinamika partai-partai politik, diskusi umum dalam memberikan piilihan
kebijakan (UNDP, 2006).
Untuk mendesain perencanaan komunikasi program
pembangunan tentu saja dibutuhkan pengetahuan tentang saluran media yang
efektif bagi masyarakat. Karena tak
semua masyarakat memiliki akses dan terhubung dengan media tertentu. Media
komunitas dan media massa yang dikelola oleh pemerintah adalah pilihan termudah
untuk mendekatkan masyarakat pada informasi-informasi yang berguna bagi
pengembangan masyarakat pedesaan melalui siaran-siaran alternatif yang
memberikan pengetahuan dan informasi mengenai gagasan baru dalam meningkatkan
kesejahteraan mereka. Namun sayangnya di beberapa negara, DSC menemukan kendala saat tidak
ditemukannya formulasi yang tepat untuk mengarahkan masyarakat dalam mencapai
kemandirian yang diharapkan.
C.
PRINSIP DAN DESAIN PERENCANAAN KOMUNIKASI
- Prinsip-prinsip desain perencanaan komunikasi
Komunikasi bagi
pembangunan adalah sebuah desain dan penggunaan yang sistematik dari aktifitas partisipatif, pendekatan
komunikasi, metode dan media untuk berbagi informasi dan pengetahuan diantara
para-pihak dalam sebuah proses pembangunan pedesaan untuk memastikan saling
pengertian dan konsensus yang mengarah pada pelaksanaan kegiatan. Tujuannya
adalah untuk memfasilitasi partisipasi masyarakat pada semua tingkatan dalam
upaya pembangunan untuk mengidentifikasi dan menerapkan kebijakan, program dan
teknologi yang sesuai guna mencegah dan mengurangi kemiskinan untuk
meningkatkan mata pencaharian/pendapatan secara berkelanjutan
(Anyaegbunam et.all, 2004). Oleh karena
itu desain perencanaan komunikasi bagi pembangunan sangat penting.
Walaupun beberapa studi kasus menjadi contoh relevan bagi
pengimplementasian kebijakan desentralisasi yang sama dalam konteks nasional, namun masing-masing tetap saja memiliki keunikan. Namun kenyataannya
banyak peneliti lebih sering berbicara tentang prinsip-prinsip yang
dijalankan. Beberapa prinsip-prinsip
untuk desain proyek komunikasi telah diusulkan oleh FAO, ODI dan DFID (2002)
dan oleh IDRC (Gomez & Casadiego, 2002). Beberapa dari prinsip-prinsip ini
relevan sebagai petunjuk dalam pengalaman kedua studi kasus di Uganda dan
Mozambik menurut Ramirez dan Quarry adalah (1) Usulan solusi konkrit dan
penggunaan teknologi yang realistis. (2) Menggerakkan/memajukan komunitas. (3)
Belajar dari kesalahan. (4) Melokalisasi komunikasi global. (5) Bekerja dengan
perspektif gender. (6) memberi peluang masyarakat mengutarakan pendapatnya. (7) Menghasilkan pengetahuan baru, mempertimbangkan muatan lokal;
memastikan akses yang adil. (8) Pengelolaan pembiayaan informasi. (9) Membangun
kapasitas. (10) Memperkuat sistem dan kebijakan-kebijakan yang ada.
Program penetapan kebijakan desentralisasi dan
privatisasi pelayanan di pedesaan dengan perspektif strategi komunikasi di
Uganda dan Mozambik dalam membangun partispasi dan keterlibatan masyarakat
cukup baik namun ada beberapa hal yang harus dicermati. Di Mozambik misalnya
hanya dilakukan penelitian khalayak dimana informasi yang ditemukan mengenai
masyarakat hanya sekitar sikap, pengetahuan, kemampuan, dan praktek. Sebagaimana dituliskan oleh Ramirez dan
Quarry bahwa penelitian khalayak di Mozambik dilakukan untuk menemukan
informasi dari beragam kelompok target.
Jenis-jenis informasi tersebut sebagai berikut:
·
Peran
kelompok individu dalam menyediakan air ( perasaan dan kenyataan)
·
Sikap pada
isu-isu pembayaran komunitas ( kekhawatiran dan harapan)
·
Kemampuan dan
kesediaan untuk membayar
·
Sikap terhadap
pelayanan pemerintah
·
Sikap terhadap
pengelolaan sendiri
·
Jaringan
komunikasi
·
Metode yang
dipercaya untuk menerima informasi
·
Pengetahuan,
sikap dan praktek mengenai praktek sanitasi
·
Pengetahuan,
sikap dan praktek mengenai praktek air bersih
Penelitian ini dilakukan selama dua
minggu oleh tim komunikasi yang terdiri dari anggota radio mozambik dan agen pengairan. Kegiatan penelitian partisipatori ini
dilakukan di distrik yang di pilih. Bentuk yang dikembangkan adalah focus group diacussion dengan
beragam kelompok komunitas (laki-laki dan perempuan), kuesioner dan menggunakan
video untuk mendokumentasikan diskusi.
Kelemahan dari metode pengumpulan informasi seperti ini adalah pertama,
masyarakat tidak dilibatkan secara langsung dalam menganalisis permasalahan dan
menetapkan kebutuhannya sehingga mereka tidak dilibatkan secara penuh dalam
proses desain perencanaan program. Penetapan program cenderung top-down. Kedua, masyarakat tidak
dilibatkan dalm proses pengambilan keputusan mengenai penggunaan metode
komunikasi dan penggunaan media karena agen pemerintah memaknai pendapat
masyarakat berdasarkan perspektif mereka. Ketiga penelitian khalayak dengan
menggunakan metode terbatas seperti di atas menyebabkan pendekatan yang
dilakukan tidak menyeluruh sehingga tidak menggambarkan situasi masyarakat yang
sesungguhnya. Keempat, keterlibatan masyarakat hanyalah menjadi partner yang
aktif dari agen pemerintah.
Anyaegbunam et, all (2004)
telah mengembangkan sebuah metode desain perencanaan komunikasi bagi masyarakat
di pedesaan yang selama ini dianggap berhasil dalam pencapaiannya dan telah
diterapkan pada berbagai komunitas dan masyarakt secara luas di Ethiopia,
Namibia, Zambia, Swaziland, Zimbabwe, Sudan, United Republik of Tanzania,
Africa Selatan, dan Malawi. Metode yang
kemudian dikenal sebagai Partisipatory
Rural Communication Appraisal (PRCA) adalah suatu metode gabungan dari
berbagai pendekatan yang telah ada sebelumnya seperti Paticipatory Rural Appraisal (PRA), Participatory
Learning and Action (PLA),
model riset kualitatif dan kuantitatif juga etnografi,
menggabungkan ide-ide dan teknik-teknik dari Logical Framework Phenomenology (LFP),
Objective Oriented Project Planning (OOPP),
serta
penelitian periklanan dan pemasaran. PRCA berangkat
dari pemikirn bahwa komunikasi
sebagai sebuah proses interaktif yang ditandai dengan pertukaran ide,
informasi, sudut-pandang dan pengalaman antara individu dan kelompok. Komunikasi merupakan proses dua arah yang melihat semua orang
sebagai sumber informasi penting yang pantas didengarkan. Semua aktor mempunyai kedudukan yang sama
dalam Pembangunan.
PRCA memfasilitasi
dialog diantara masyarakat pedesaan itu sendiri dan antara masyarakat pedesaan
dengan para agen pembangunan agar semua pihak memperoleh pemahaman bersama
dalam perencanaan kegiatan. Hal ini
sebenarnya juga dinginkan dalam pelaksanaan program desentralisasi dan
privatisasi pelayanan di Uganda dan Mozambik, sebagaimana ditulis Ramirez dan
Quarry mengenai kasus di Uganda bahwa dengan Demand – Responsive Approach (DRA),
membutuhkan suatu perubahan sikap, praktek dan perilaku dari semua para pihak. Pemeritah
harus berubah dari menjadi penyedia layanan (dan pengawas)- untuk pembelajaran dalam memudahkan suatu sistem yang bekerja -di sektor privat menjadi level komunitas. Komunitas tidak akan lama menjadi penerima yang
pasif tetapi harus belajar melayani kebutuhan sendiri dan menjadi
peserta aktif dalam memenuhi dan mengatur sistem yang mereka miliki. Tingkat keterlibatan komunitas, kesadaran,
partisipasi, dan keterampilan merupakan poin bagi kekuatan
komunikasi.
Namun dalam tataran implementasi di Uganda, menurut
Ramirez dan Quarry, hal tersebut masih memerlukan usaha keras dari pemerintah
untuk menjelaskan prosedur pendekatan respon-permintaan. Beberapa pertanyaan
yang membutuhkan penjelasan terkait
permasalahan teknis pelaksanaan pembangunan dan keberlanjutannya tidak dapat
dipecahkan oleh pemerintah, sebab hal-hal tersebut masih membutuhkan formulasi
strategi komunikasi yang tepat untuk menutupi kekurangan dalam perencanaan
komunikasi sehigga dapat dihasilkan materi komunikasi yang baik.
Kelebihan PRCA
dibandingkan metode lainnya adalah mampu menciptakan dialog untuk
mengidentifikasi dan mengevaluasi
permasalahan, pengetahuan, pengalaman, perasaan dan sikap berdasar
persepsi masyarakat dengan cara investigasi, mengetahui karakteristik kelompok
yang berbeda dalam masyarakat dan membantu memetakan pola dan jaringan
komunikasi yang ada. PRCA dikembangkan
untuk memastikan bahwa program komunikasi untuk pembangunan benar-benar
merupakan realitas yang ada di masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode visual dan memfasilitasi
komunitas dengan teknik-teknik untuk memunculkan, menganalisis dan
mempresentasikan data sehingga peneliti akan dapat menerapkan dan memastikan
bahwa usaha pembangunan benar-benar merupakan realitas dari grassroot untuk merespon apa yang menjadi kebutuhan,
kemampuan dan pengetahuan lokal.
Mengisi kekosongan
konsep desain perencanaan komunikasi, (Anyaegbunam et.all, 2004) mengembangkan
sejumlah prinsip yang penting dalam melakukan desain perencanaan komunikasi
bagi pembangunan yaitu: (1) Particiption, masyarakat terlibat dalam semua proses, yaitu investigasi,
pengumpulan data, dan presentasi,
belajar untuk merencanakan dan melakukan implementasi. (2) Reverseal of learning, Pengetahuan lokal masyarakat diapresiasi dengan mengubah sikap dan perilaku fasilitator dengan memberi
kesempatan pada masyarakat untuk menjelaskan dengan istilah mereka sendiri, pandangan
mereka atas diri sendiri. (3) Sharing, fasilitator sharing pengetahuan dengan
komunitas. (4) Sensitivity of Gender, memberi kesempatan kepada perempuan untuk
menyampaikan opininya dan terlibat dalam semua proses pembangunan. (5) Optimal Ignorance,
fasilitator
hanya mengetahui apa yang menjadi kebutuhan masyarakat tetapi masyarakat yang memutuskan untuk
tindakan ke depan. (6) Rapid
but Rilexed,
membangun
hubungan dan kepercayaan komunitas dengan
cepat tetapi dalam suasana yang santai agar masyarakat dapat
memikirkan permasalahannya dan mendapatkan solusi yang akan diimplementasikan (7) Flexible
and adaptive,
dapat diterapkan dalam
beberapa bentuk, kondisi dan konteks yang berbeda (berbagai macam sektor
pembangunan), dan siap
beradaptasi dengan kondisi lapangan, menyatu dalam agenda dan jadwal masyarakat
(people framework).
(8) Fieldwork. observasi
dan belajar
dari masyarakat. (9) Triangulasi, melakukan verifikasi informasi yang
dikumpulkan,
melihat situasi yang sama dari sudut pandang yang berbeda, pengecekan informasi
dengan beberapa segmen dalam komunitas sehingga lebih mudah mengidentifikasi
dan resolve pertentangan
Apabila
prinsip-prinsip tersebut, dapat diterapkan dalam
kegiatan di Uganda dan Mozambik, relative dapat menjawab berbagai kelemahan yang
ditemukan pada program di sana. Sebab, dalam PRCA,
metodologi yang digunakan untuk mengumpulkan
data dan informasi dalam komunitas dan masyarakat menggunakan dua indikator,
yaitu indikator
kualitatif yang didapatkan dengan alat dan teknik PRCA dan indikator kuantitatif yang ditemukan dengan metode baseline study. Sehingga ia tidak hanya mengumpulkan informasi
mengenai sikap, pengetahuan, kemampuan, dan praktek-praktek komunitas dan
masyarakat tetapi juga mengumpulkan informasi tentang kebutuhan, peluang,
permasalahan, dan solusi yang diartikulasikan oleh masyarakat sebagai
pengetahuan endogenous mereka. Dalam
aktivitas ini, interaksi antara fasilitator PRCA dan masyarakat berlangsung
dengan intensitas tinggi.
- Desain Perencanaan Komunikasi
Ramirez dan Quarry menawarkan suatu model tahap perencanaan komunikasi
yang dimodifikasi dari model sebelumnya. Model ini terdiri dari enam tahap,
dimana tahap pertama adalah tahap penelitian yang dilakukan oleh suatu tim yang
dibentuk oleh pemerintah. Penelitian ini merupakan penelitian khalayak, Tahap
berikutnya adalah tahap perencanaan yang menitikberatkan pada isi dan desain pesan, seleksi media,
mtode belajar dan definisi indicator pengaruh. Pada tahap ketiga adalah
memproduksi media, membuat langkah-langkah pembelajaran, tahap keempat
melakukan uji lapangan terhadap materi media dan pembelajaran, serta
mengerjakan kemungkinan revisi atas berbagai kekurangan yang kemudian muncul
terhadap materi media dan pembelajaran, tahap kelima adalah pelaksanaan dan
tahap terakhir adalah monitoring, evaluasi dan adaptasi.
Dalam desain yang merupakan modifikasi tahap-tahap
perencanaan komunikasi terlihat bahwa proporsi perancangan komunikasi dan
desainnya belum mendalam dan menyentuh esensi yang sebenarnya dari perspektif
komunikasi karena pada rancangan model tersebut pada tahap penelitian,
perencanaan dan produksi hanya melihat apa dan bagaimana saluran komunikasi
yang disukai masyarakat, bagaimana mendesain pesan dan memilih media serta
produksi pesan media.
Sementara itu,
kelebihan PRCA adalah kemampuannya untuk mengakomodasi berbagai informasi
secara signifikan dari masyarakat. Beberapa informasi di antaranya yang dapat
dikumpulkan adalah profil
komunitas (bagaimana
orang-orang merasakan dan mendefinisikan dunianya), sumberdaya informasi dan komunikasi
dan jaringan-jaringan komunitas,
persepsi
komunitas atas kebutuhan, peluang, permasalahan, dan solusinya (NOPS) dan juga
informasi tentang sikap, pengetahuan, kmampuan, dan praktek (AKAP), daftar dan penilaian NOPS, analisis pohon masalah dari permasalahan
utama, jendela
persepsi (WOPS), kelompok interaksi prioritas, potret atau karakteristik
kelompok-kelompok interaksi,
isu-isu
komunikasi yang berhubungan
dengan permasalahan-permasalahan penting, sistem
komunikasi dan jaringan-jaringan kelompok-kelompok interaksi, dan sumberdaya informasi yang digunakan
dan lebih disukai oleh kelompok interaksi
Kelebihan model ini
dari model-model sebelumnya
adalah kemampuannya untuk menggali beragam informasi dari masyarakat baik NOPS
maupun AKAP dengan metode-metode yang kreatif. Melibatkan berbagai saluran komunikasi dan penggunaan
media komunikasi yang variatif. Model ini juga
menggabungkan dua pendekatan penelitian dalam rangka mengumpulkan informasi
dari masyarakat, yaitu metode lapangan PRCA
yang sangat partisipatif dan baseline
study. Kelebihan lain yang dimiliki oleh model ini adalah tidak hanya
menyelesaikan satu permasalahan
dalam suatu komunitas atau masyarakat tapi juga berbagai permasalahan yang
berhubungan dengan permasalahan utama, sehingga pemecahan masalaha yang
ditawarkan bersifat holistik.
Model ini dapat diadaptasi dalam melaksanakan berbagai macam program pembangunan.
D.
KESIMPULAN
Kasus-kasus di Uganda
dan Mozambik menunjukkan bahwa model Demand-Responsive
Approach (DRA) hanya berhasil dalam pelaksanaan jangka pendek namun,
berbagai kekhawatiran muncul ketika program ini akan dilanjutkan karena
besarnya pengaruh dan intervensi agen pembangunan dari luar. Masyarakat hanya
menjadi partner aktif tetapi mereka kurang mandiri dalam mengartikulasikan
permasalahan-permasalahan yang belakangan muncul ketika pihak proyek menginginkan
keterlibatan masyarakat yang lebih besar dalam mengelola program tersebut.
Kesalahan yang banyak
terjadi pada model perencanaan program adalah kurangnya perhatian terhadap
peran komunikasi, atau kalaupun ada, komunikasi hanya seringkali dikaitkan
dengan media sebagai saluran informasi. Padahal komunikasi seharusnya dipahami secara luas sebagai bagian yang
penting dalam program, penyusunan program, dan materi program itu sendiri. Oleh
karena itu ada bebarapa hal terkait komunikasi yang harus dipahami perencana
dalam menyusun strategi komunikasi dalam program pembangunan:
·
Komunikasi
adalah dialog. Komunikasi dua arah antara masyarakat dan pemerintah, atau
antara masyarakat dan agen pembangunan dalam perencanaan program yang sesuai.
·
Komunikasi
membantu individu untuk mengenal kebutuhan dan permasalahannya.
·
Pendekatan
komunikasi berlangsung dalam konteks lokal, menggunakan bahan dan media lokal,
teknik dan metode lokal serta dilakukan oleh orang-orang atau organisasi lokal.
·
Media yang
tepat dapat bermanfaat untuk membantu mempercepat proses perubahan sosial.
·
Mengembangkan
fungsi komunikasi, berarti mengembangkan anggota kelompok dan masyarakat untuk
mengubah situasi mereka sendiri.
Berbagai model dan
metode yang digunakan dalam perencanaan desain strategi komunikasi tidak selalu
relevan dengan berbagai kasus yang ada di berbagai negara. Namun dengan sedikit improvisasi
dan kreativitas,
metode; teknik dan alat yang digunakan dalam Partisipatory Rural Communication Appraisal (PRCA) dapat
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan program.
Beberapa kelebihan PRCA
adalah kemampuannya untuk menggali beragam informasi dari masyarakat baik NOPS
maupun AKAP. Model ini juga menggabungkan metode lapangan PRCA yang sangat partisipatif dan baseline study.
Kelebihan lain yang dimiliki oleh model ini adalah dapat menyelesaikan berbagai permasalaan dalam suatu komunitas
atau masyarakat yang berhubungan dengan permasalahan utama.
DAFTAR
PUSTAKA
Anyaegbunam, Chike, Mefalopulos, Paolo & Moetsabi, Titus (2004) “Participatory Rural Communication
Appraisal: Starting with the People” A Handbook Second
Edition, SADC Centre of Communication for Development
& The Communication for
Development Group FAO-UN Rome ISBN
92-5-105251-4. www.fao.org/y5793e00.prca.pdf (21/11/2007-4.20PM)
Figueroa, Maria
Elena, D. Lawrence Kincaid, Rani, Manju &
Lewis, Gary (2002) “Communication for Sosial
Change: An Integrated Model for Measuring the Process and Its Outcomes” The Communication for Sosial Change Working
Paper Series: No.1/2002 Johns
Hopkins University’s Center for
Communication Programs for the Rockefeller Foundation ISBN: 0-89184-065-6 www.communicationforsosialchange.org/
communicationforempowerment.pdf (5/1/2009-8.05PM)
Gómez,
R. and Casadiego, B. (2002) ‘Letter to
Aunt Ofelia: Seven proposals for human development using new information and
communications technologies’. International Development Research Centre/PAN
Américas, Raíces Mágicas and Ottawa: Intermediate Technology Development Group.
http://web.idrc.ca/en/ev-8199-201-1
(5/1/2009-7:22PM)
Ife,
Jim & Tesoriero, Frank (2008) “Community
Development”: Alternatif Pengemangan Masyarakat di Era Globalisasi, edisi
ke-3.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Melkote,
Srinivas R. & Steeves, H. Leslie (2001) “Communication Strategies for Empowerment” dalam Communication for Development in the Third
World: Theory and Practice for Empowerment 2nd Edition. New Delhi: Sage Publicaton – London: Thousand Oaks
Mulyana,
Deddy (2005) “ Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar” . Bandung: Remaja
Rosda Karya
Ramirez,
Ricardo dan Quarry, Wendy (2004) “Communication strategies in the age of
decentralisation and privatisation of rural services: lessons from two african
experiences”. Jurnal AgREN (Agriculture Research and Extention Network) Network Paper No.136
July 2004. http://odi.org.uk/agrenpaper_136_web.p65.pdf
(5/1/2009-7:51PM)
Rockefeller
Foundation (2001). 'Communication for Sosial
Change- A Position Paper and Conference Report.' New York, NY: Rockefeller
Foundation.
Scheidel, Thomas M. (1976) “Speech Communication and Human Interaction”. Edisi ke-2. Glenville Illinois: Scot Foresman & Co
Servaes, Jan, Jacobson, Thomas L. & White,
Shirley A. (1996) “Participatory
Communication for Sosial Change” New Delhi: Sage Publication – London: Thousand Oaks
UNDP (2006) “Communication for Empowerment: Developing
Media Strategies in Support of
Vulnerable Groups: Practical
Guidance Note”
Bureau for Development Policy, Democratic Governance Group www.communicationforsosialchange.org/c4e.desktop-publishing.ha3/communicationforempowerment.pdf
(5/1/2009-7.09PM)
Zimmerman, Gordon I., Owen, James L. & Seobert,
David R. (1977) “Speech Communication: A.
Contemporary Introduction”. St. Paul: West