Sabtu, 19 Mei 2012

Penguatan Dimensi Komunikasi untuk Perubahan Sosial dalam Desain Perencanaan Pembangunan


   
Abstract
This article seeks to critically examine the use of communication strategies in development planning. Understanding of communication in development narrowly has been marginalize communication functions.  Communication is not just a tool for social change, but also as an integral part in the processes of development, ranging from the introduction of community needs, planning, programming, implementation and evaluation.

Communication involves the active participation of the community, there is a dialectic of intensive communication between people, agents of change, and governments to formulate development programs. In Participatory Rural Comunication Appraisal (PRCA) method, communication is no longer a mere support development but it is an important point in development through a participatory approach to communication strategy.

Keywords: Communication strategy, Development, Social change, Participation

A.    PENDAHULUAN
Tulisan ini berusaha memberikan sebuah perspektif alternatif dalam menempatkan komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat. Agar kajian konseptual ini memiliki landasan ilmiah dan fokus maka tulisan ini diawali dari mereview dan memberikan beberapa catatan penting mengenai penelitian Ricardo Ramirez dan Wendy Quarry[2] yang berjudul “Communication strategies in the age of decentralisation and privatisation of rural services: lessons from two african experiences”. Penelitian ini dilakukan di Uganda mengenai kasus Strategi Komunikasi dan Informasi untuk Program Pelayanan Bimbingan Pertanian Nasional (NAADS) dan penelitian di Mozambik mengenai Formulasi Perencanaan untuk Mengkomunikasikan Kebijakan Air Nasional (NWP) dan Perencanaan Transisi Air Pedesaan.
Pada penelitian tersebut, Ramirez dan Quarry berusaha menggambarkan tantangan desentralisasi dan privatisasi pelayanan di pedesaan dari perspektif strategi komunikasi pembangunan. Termasuk memaparkan beberapa prinsip-prinsip desain strategi lainnya dan meninjau pentingnya perencanaan dan penelitian komunikasi.
Secara khusus, kedua penelitian ini berusaha untuk fokus pada pengembangan strategi komunikasi yang memungkinkan organisasi-organisasi lokal mempelajari cara-cara setempat dalam melaksanakan pembangunan dengan harapan bahwa dengan strategi-strategi ini, mereka akan mampu untuk mengatur perencanaan seraya memperbaiki kondisi masyarakat. Pendekatan ini berbeda dengan berbagai proses konsultasi konvensional dimana suatu hasil akhir seringkali hanya dokumen-dokumen pelaksanaan organisasi, dengan keterbatasan keterampilan dalam hal kepemilikan dan pengaturan perencanaan. Pendekatan ini menekankan pada pembangunan kapasitas dalam kerjasama organisasi dan bergantung pada kontunuitas staf atau agen pembangunan dalam menangani detail formulasinya.
Tulisan ini hanya fokus pada tinjauan mengenai penelitian komunikasi partisipasi yang dilakukan dalam menyusun dan mendesain perencanaan komunikasi pada penelitian Ramirez dan Quarry.

B.     TEMUAN DAN BEBERAPA CATATAN PENTING
  1. Temuan Penelitian dan Pelaksanaan Kebijakan
Penelitian yang dilaksanakan oleh Ramirez dan Quarry (2004) menunjukkan bahwa komunikasi pembangunan di kedua tempat mempunyai perbedaan, ia memiliki fungsi yang saling melengkapi – jauh lebih baik dari hubungan masyarakat. Dalam strategi komunikasi dan informasi (yang merupakan bagian dari komunikasi pembangunan) akan lebih membicarakan tujuan pembangunan sumberdaya manusia, penyelenggaraan organisasi dan pelaksanaan di lapangan, khususnya keterampilan dalam merencanakan dan mengelola strategi-strategi penting. Dalam penelitian ini menggunakan penelitian khalayak yang merupakan basis awal  untuk mempelajari pengetahuan para pihak yang telah ada, saluran komunikasi apa yang mereka akses, dan  kombinasi media apa yang merespon saluran tersebut.  Strategi komunikasi pembangunan mengikuti desain prinsip dasar yang telah disaring dari praktek/kegiatan yang telah dan sedang dilaksanakan.
Pelaksanaan kebijakan menekankan bahwa pembangunan yang efektif membutuhkan perencanaan komunikasi, karena privatisasi dan desentralisasi pelayanan pedesaan secara tidak langsung merubah keterampilan, sikap dan hubungan-hubungan secara fundamental dan strategi komunikasi dapat membantu mengartikulasikan transisi ini. Bagaimanapun juga kegiatan komunikasi membutuhkan perencanaan yang didasarkan dari penelitian karena disadari bahwa tidak ada cetak biru untuk membuat arah transisi desentralisasi yang menuntun kampanye pelayanan, tetapi  komunikasi dapat membantu pengembangan strategi-strategi untuk mengidentifikasi siapa yang membutuhkan apa, dimana dan bagaimana – untuk tingkat strategi komunikasi yang luas, pekerjaan-pekerjaan seperti manajemen audit dilakukan dengan menyoroti tantangan-tantangan dan menyediakan solusi.
Melibatkan agen perubahan secara kontinu dalam formulasi strategi komunikasi dan pelaksanaannya sangat dibutuhkannamun ini tidak memungkinkan, terdapat kecenderungan bagi agen-agen untuk melakukan penawaran terhadap pelaksanaan kerja dan menghilangkan kesempatan untuk mengelola dan mengadaptasi suatu strategi untuk pengembangan masyarakat. Penelitian menunjukkan bahwa tidak ditemukan sebuah prestasi yang berarti dan menjanjikan  dalam kasus Uganda. Sementara, kontinuitas kerja di Mozambik lebih problematik.

  1. Beberapa Pemikiran yang Terkait
Berhubungan dengan pengembangan desain perencanaan dan strategi komunikasi, maka ada berbagai pemikiran yang mendasari pentingnya penguatan dimensi komunikasi dalam bekerja dengan komunitas dan masyarakat dengan tujuan perubahan sosial. Rockefeller Foundation (2001) mendefinisikan Komunikasi untuk perubahan sosial sebagai suatu proses dialog masyarakat dan pemerintah untuk mendefinisikan siapa mereka, apa yang mereka inginkan dan bagaimana mereka dapat mencapainya. Sebagai tambahan, hal ini diarahkan sebagai garis besar keterampilan dan perlengkapan yang dibutuhkan di lapangan, persiapan  untuk  petunjuk kerja pelaksanaan, persetujuan yang terukur, dan pembentukan beberapa jaringan kerja yang saling berhubungan.
Keterlibatan unsur komunikasi seharusnya mampu mengeksplorasi bentuk komunikasi yang terintegrasi dalam norma sosial masyarakat karena ia merupakan bagian dari budaya lokal dan cara-cara komunitas dan masyarakat tersebut berhubungan. Di sini, komunikasi seharusnya juga terkait dengan analisis jaringan informasi dan sumberdaya komunikasi dan informasi yang dimiliki komunitas maupun masyarakat. Untuk itu perancangan strategi perencanaan pembangunan dengan perspektif komunikasi perlu didasarkan pada beberapa hal berikut:

a.      Fungsi Komunikasi: Sosial dan Instrumental
Scheidel (1976) mengemukakan bahwa orang-orang berkomunikasi terutama untuk menyatakan dan mendukung identitas diri, untuk membangun kontak sosial dengan orang di sekitarnya dan untuk mempengaruhi orang lain untuk merasa, berpikir, atau berperilaku seperti yang diinginkan. Namun tujuan dasar  berkomunikasi adalah untuk mengendalikan lingkungan fisik dan psikologi. Hampir senada dengan di atas, Zimmerman, et. all (1977) menyatakan bahwa terdapat dua kategori besar tujuan orang berkomunikasi, yaitu untuk menyelesaikan tugas-tugas yang penting bagi kebutuhannya dan untuk memupuk dan menciptakan hubungan dengan orang lain. Dari berbagai pernyataan tersebut, maka hal yang paling penting untuk digarisbawahi adalah  komunikasi membantu individu untuk mengenal kebutuhan dan permasalahannya, mencari solusi atas permasalahan dengan menjalin hubungan dengan orang lain.
Mulyana (2005) bahkan menyimpulkan adanya empat fungsi komunikasi, yaitu: fungsi pertama komunikasi sebagai komunikasi sosial, fungsi kedua komunikasi sebagai komunikasi ekspresif, fungsi ketiga komunikasi sebagai komunikasi ritual, dan fungsi komunikasi keempat sebagai komunikasi instrumental. Untuk memahami desain perencanaan pembangunan dengan basis pendekatan komunikasi, maka dua fungsi komunikasi diantaranya harus dipahami terlebih dahulu. Fungsi komunikasi sosial menurut Mulyana (2005) setidaknya mampu membangun konsepsi diri, aktualisasi diri untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan, antara lain lewat komunikasi yang menghibur dan berhubungan dengan orang lain.
Bagaimanapun juga komunkasi-lah yang memungkinkan individu membangun kerangka rujukan dan menggunakannya sebagai panduan untuk menafsirkan situasi apapun yang dihadapi. Komunikasi pula yang memungkinkan individu mempelajari dan menerapkan strategi-strategi adaptif untuk mengatasi situasi-situasi yang problematik. Setiap kelompok masyarakat mempunyai bentuk-bentuk komunikasi dan strategi-strategi yang berbeda dalam menghadapi situasi yang demikian. Salah satu jenis komuniksi yang implisit dalam fungsi komunikasi sosial adalah komunikasi kultural. Edward T. Hall (Mulyana, 2005) menuliskan bahwa pada satu sisi komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat baik secara horizontal maupun vertikal dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Pewarisan norma dari satu generasi ke generasi  tentu pula diikuti oleh pewarisan pengetahuan endogenous yang tumbuh sebagai kearifan lokal pada masyarakat tertentu yang membentuk perilaku komunikasi di kalangan mereka sendiri. Permasalahannya adalah komunikasi berangkat dari fakta bahwa kelompok-kelompok budaya atau subkultur-subkultur yang ada dalam suatu budaya mempunyai perangkat norma dan nilai, yang berlainan. Oleh karena itu pendekatan yang dilakukan dalam pembelajaran dengan masyarakat hendaknya menggunakan pendekatan yang holistik.
Salah satu pendekatan demikian dilakukan dalam Participation Action Research (PAR) yang mana menurut Melkote & Steeves (2001) berusaha melakukan penyadaran pada pengetahuan popular, menolak pembangunan dengan perspektif dominan, dan menciptakan ruang bagi kelompok-kelompok yang terpinggirkan untuk mempengaruhi perubahan sosial. Pendekatan ini didukung oleh ideologi yang mendorong usaha-usaha endogenous dan pemimpin lokal agar berperan dalam perubahan sosial dengan menggunakan praxis mereka sendiri. Pengetahuan dari generasi ke generasi yang dipraktekkan dipilih berdasarkan sistem verifikasi yang dihasilkan oleh pengetahuan natural (dalam pandangan mereka) yang menjadi panduan dalam bertindak dengan menggunakan metode-metode yang berasal dari masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, pada prakteknya pendekatan komunikasi berlangsung dalam konteks lokal, menggunakan bahan dan media lokal, teknik dan metode lokal serta dilakukan oleh orang-orang atau organisasi lokal, yang tentu saja difasilitasi oleh agen perubahan.
Fungsi komunikasi instrumental bertujuan untuk menginformasikan, mengajar, mendorong, mengubah sikap dan keyakinan, dan mengubah perilaku atau menggerakkan tindakan, dan juga untuk menghibur (Mulyana, 2005). Kesemuanya merupakan tindakan persuasif. Cara komunikasi tersebut bila direncanakan dan didesain sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan masyarakat dengan menggunakan media yang tepat dapat bermanfaat untuk membantu mempercepat proses perubahan sosial.

b.      Partisipasi dan Komunikasi
Post strukturalisme, post modernisme dan teori komunitarian memberikan dasar asumsi strategi partisipatori. Post strukturalisme menekankan pentingnya melibatkan masyarakat dalam proses-proses pengambilan keputusan dalam pembangunan,  post modernisme melihat pembangunan sebagai pendekatan humanis yang menekankan perlunya pembangunan manusia, sementara teori komunitarian memandang bahwa pembangunan merupakan kepentingan masyaarkat karenanya mereka mempunyai hak untuk menentukan pilihan-pilihan atas proses dan pelaksanan pembangunan. Ketiganya membangun asumsi bahwa partispasi adalah pendekatan akhir atau tujuan dari pembangunan, hal ini sekaligus membantah asumsi paradigm dominan yang menyatakan bahwa partisipasi adalah alat dalam meraih tujuan pembangunan.  Partisipasi menurut Diaz-Bordenave adalah hak dasar karena manusia butuh berpikir, menyatakan dirinya, kelompoknya, dikenali sebagai seseorang, dihargai dan dihormati, dan mengatakan pendapat di dalam keputusan-keputusan penting yang mempengaruhi hidupnya (Melkote & Steeves, 2001)
Perubahan paradigma dalam memandang partisipasi oleh Oakley et al disebutkan sebagai  upaya memberdayakan rakyat untuk berpartisipasi dalam  pembangunan mereka sendiri secara lebih berarti serta menjamin peningkatan peran rakyat dalam inisiatif-inisiatif pembangunan. Fokusnya pada peningkatan kemampuan rakyat untuk berpartisipasi bukan sekedar mencapai tujuan-tujuan proyek yang sudah ditetapkan sebelumnya. Partisipasi dipandang sebagai suatu proses jangka panjang. Partisipasi sebagai tujuan, relatif lebih kreatif dan dinamis (Ife & Tesoriero, 2008)
Dalam pendekatan partisipatori, melembagakan komunikasi sangat pentingi. Apabila pembangunan berkaitan dengan manusia maka perencanaannya harus dimulai dengan mencari tahu kebutuhan-kebutuhan dan permasalahan riil yang ada. Namun sampai dekade 80-an masyarakat belum mampu mengidentifikasi karena tidak adanya partisipasi yang murni dalam penyusunan strategi pembangunan untuk memperbaiki kondisi ini. Sebagai alternatif, komunikasi bottom up sudah sering dilakukan namun seringkali kehilangan makna karena kurangnya unsur utama model komunikasi yaitu saluran komunikasi dialogis (komunikasi dua arah antara masyarakat dan pemerintah, atau antara masyarakat dan agen pembangunan) dalam perencanaan program yang sesuai. Hal ini penting diketahui oleh perencana pembangunan bahwa komunikasi merupakan proses dialog yang bersifat interaksional dan transaksional.
Pandangan tersebut didukung oleh salah satu pendekatan komunikasi partisipatori, yaitu dialogical paedagogy yang diperkenalkan oleh Paulo Freire (Servaes, 1996). Pandangan ini menyatakan bahwa ada dua strategi teoritis yang perlu diperhatikan, strategi teoritis pertama menyatakan bahwa orang-orang harus diperlakukan sebagai subjek kemanusiaannya dalam berbagai proses-proses politik (dipengaruhi oleh Existensialisme Sarte). Strategi kedua menyatakan bahwa  manusia mempunyai takdir lebih daripada hidup sebagai pemenuhan kebutuhan material (suatu momen dari harapan utopia yang didapatkan dari Marx). Dalam bagian ini pula, Freire menekankan bahwa peluang individual tidak memiliki solusi atas situasi umum dari kemiskinan dan keterpinggiran budaya.  Oleh karena itu harus diusahakan secara kolektif
Diaz Bordinave mencatat bahwa dalam pendekatan  ini, partisipasi seringkali diharapkan secara langsung oleh sumber dan agen perubahan, Dalam pendekatan Bottom up orang-orang dibujuk untuk mengambil bagian di dalam aktivitas mandiri, tetapi penyelesaian permasalahan lokal dipilih oleh agen pembangunan eksternal. Partisipasi orang-orang diarahkan. Padahal sasaran partisipasi tidak hanya bersifat pragmatis tapi juga lebih kepada kemandirian masyarakat. (Melkote & Steeves, 2001). Tujuan usaha-usaha partisipasi harus memudahkan orang-orang mencermati secara bersamaan perbedaan sosial, politik, dan ruang-ruang struktur dalam masyarakat. Perhatian dan kegiatan kolektif masyarakat untuk merasakan kebutuhan-kebutuhannya, mengidentifikasi keterbatasan-keterbatasan, menunjukkan permasalahan-permasalahan dan merencanakan permasalahannya.
Oleh karenanya pendekatan saluran komuikasi ini digunakan untuk menghasilkan dialog, untuk membantu orang-orang memahami satu sama lain dan mengidentifikasi permasalahan mereka secara kolektif. Mengembangkan fungsi komunikasi, yaitu dengan mengembangkan anggota kelompok dan masyarakat untuk mengubah situasi mereka sendiri.

c.       Strategi Perencanaan Komunikasi partisipatori
Ramirez dan Quarry telah memaparkan beberapa prinsip yang dianggap relevan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan proyek/ program namun sebagaimana yang telah mereka tekankan bahwa beberapa dari prinsip tersebut bisa saja relevan pada studi kasus tertentu namun tidak relevan pada kasus yang lain. Namun pada dasarnya prinsip-prinsip tersebut berusaha mengakomodasi berbagai kebutuhan dan permasalahan komunitas dan masyarakat pada level bawah dengan menggunakan pendekatan perencanaan dan strategi komunikasi. Pada kasus di Uganda dan Mozambik, strategi komunikasi membantu mengembangkan tema-tema dan isu-isu yang dikomunikasikan, membantu memahami konteks dimana komunikasi berlangsung, dan mengidentifikasi siapa saja yang memungkinkan bekerjasama dalam membangun proses komunikasi.
Pada dasarnya, pelaksanaan program sebagaimana hasil penelitian di Uganda dan Mozambik menggunakan strategi perencanaan komunikasi partisipatori. Pelaksanaan strategi komunikasi partisipatory menekankan pada kerjasama, pembagian pengetahuan yang sama antara masyarakat dengan agen penunjang pembangunan dalam konteks budaya lokal, hal ini identik dengan model pemberdayaan. Hanya saja ada berbagai kelemahan yang mengikuti apabila perencanaan dan desain pelaksanaan komunikasi pembangunan menuntut intervensi yang besar dari pengambil kebijakan dan agen perubahan. Di Mozambiq contohnya, pelaksanaan program yang berkesinambungan menjadi permasalahan yang problematik, hal ini terjadi karena adanya kebutuhan untuk melibatkan staf atau agen secara kontinuitas dalam formulasi strategi komunikasi dan pelaksanaannya, padahal kondisi ini seringkali berakhir hanya karena berbagai pertimbangan pembiayaan.
Dalam situasi yang problematik demikian, pendekatan PAR memiliki solusi dengan  mendidik dan mengajarkan masyarakat untuk terlibat langsung dalam proses-proses mulai dari perencanan, penyusunan, pelaksanaan, evaluasi dan monitoring program. Sehingga partisipasi yang dibutuhkan adalah partisipasi masyarakat secara total, bukan partisipasi yang dimobilisasi. Masyarakat diharapkan mampu mandiri dan tidak bergantung pada pemerintah dan agen pembangunan. Melkote & Steeves, (2001) menyebutkan bahwa  Indikator keberhasilan PAR adalah ketika proses perubahan sosial bergerak tanpa kehadiran agen eksternal, masyarakat lokal secara mandiri mengetahui persoalan, kebutuhan dan menemukan solusi dengan metode yang berangkat dari pengetahuannya sendiri.
Dalam menggerakkan partisipasi masyarakat, PAR cukup berhasil. Hanya saja kemudian ditemukan bahwa PAR tidak cukup mengakomodasi berkembangnya jaringan komunikasi dan informasi komunitas dan masyarakat. PAR juga cenderung tidak menggali lebih dalam sumberdaya komunikasi dan informasi di dalam komunitas dan masyarakat. Padahal ini penting untuk keberlanjutan proses pembangunan masyarakat, karena dengan mengetahui jaringan dan sumberdaya komunikasi dan informasi maka desain perencanaan komunikasi yang tepat dapat dikembangkan melalui pemilihan model komunikasi dan media yang bermanfaat.
Dalam Development support communication (DSC) juga menawarkan sebuah model dalam proses pemberdayaan masyarakat. Dimana pada awal proses pemberdayaan peran DSC adalah sebagai fasilitator yang memungkinkan penguatan kapasitas masyarakat, sebagai kolaborator dalam hal saluran komunikasi bagi masyarakat dan pembela masyarakat dalam membantu mengakses sumberdaya dan memecahkan permasalahan mereka. Dengan peran ini agen DSC mempunyai cukup besar intervensi.

Namun pada akhirnya proses pemberdayaan ini mengarahkan masyarakat untuk mandiri dimana akses terhadap sumber daya dan kontrol perubahan tidak lagi mutlak berada ditangan orang-orang dan organisasi yang berada di luar masyarakat itu sendiri. Perubahan dipengaruhi dengan bertambahnya agenda keterlibatan anggota masyarakat  dalam perencanaan dan proses pembangunan. Sementara itu, peran agen DSC bergeser hanyalah sebatas memfasilitasi berbagai kebutuhan masyarakat  dan tempat berkonsultasi, sehingga ia berada diluar lingkaran proses perencanaan dan pengambilan keputusan.
Skenario ini cukup menarik untuk dikembangkan dalam proses pemberdayaan masyarakat dimana akhirnya masyarakat dapat membentuk organisasi yang solid di level bawah, dan diharapkan mandiri dalam menganalisis kebutuhannya, permasalahannya, mempunyai kemampuan untuk mengakses sumberdaya dalam rangka memecahkan permasalahan dan memenuhi kebutuhan serta mengontrol proses-prosesnya. Pandangan ini mendukung pendekatan yang dikembangkan oleh UNESCO, yaitu gagasan mengenai akses, partisipasi, dan pengelolaan sendiri. Gagasan ini menurut Servaes (1996) menjadi teori normatif dalam komunikasi alternatif. Akses mengarah pada penggunaan media, untuk pelayanan publik. Partisipasi secara langsung adalah keterlibatan publik dalam sistem komunikasi pada level yang lebih besar. Dan pengelolaan sendiri adalah keberlanjutan dari partisipasi.
Sebagai contoh misalnya di India, edisi surat kabar lokal adalah saluran informasi penting bagi agen pembangunan pada level desa. Organisasi masyarakat telah mampu mengelola berita-berita masyarakat, termasuk berita mengenai perempuan, seperti mempublikasikan isu-isu kenaikan gaji pada masyarakat luas. Pembangunan yang dilaporkan untuk memberikan transparansi dalam dinamika partai-partai politik, diskusi umum dalam memberikan piilihan kebijakan (UNDP, 2006).
Untuk mendesain perencanaan komunikasi program pembangunan tentu saja dibutuhkan pengetahuan tentang saluran media yang efektif  bagi masyarakat. Karena tak semua masyarakat memiliki akses dan terhubung dengan media tertentu. Media komunitas dan media massa yang dikelola oleh pemerintah adalah pilihan termudah untuk mendekatkan masyarakat pada informasi-informasi yang berguna bagi pengembangan masyarakat pedesaan melalui siaran-siaran alternatif yang memberikan pengetahuan dan informasi mengenai gagasan baru dalam meningkatkan kesejahteraan mereka. Namun sayangnya di beberapa negara, DSC menemukan kendala saat tidak ditemukannya formulasi yang tepat untuk mengarahkan masyarakat dalam mencapai kemandirian yang diharapkan.

C.     PRINSIP DAN DESAIN PERENCANAAN KOMUNIKASI
  1. Prinsip-prinsip desain perencanaan komunikasi
Komunikasi bagi pembangunan adalah sebuah desain dan penggunaan yang sistematik dari aktifitas partisipatif, pendekatan komunikasi, metode dan media untuk berbagi informasi dan pengetahuan diantara para-pihak dalam sebuah proses pembangunan pedesaan untuk memastikan saling pengertian dan konsensus yang mengarah pada pelaksanaan kegiatan. Tujuannya adalah untuk memfasilitasi partisipasi masyarakat pada semua tingkatan dalam upaya pembangunan untuk mengidentifikasi dan menerapkan kebijakan, program dan teknologi yang sesuai guna mencegah dan mengurangi kemiskinan untuk meningkatkan mata pencaharian/pendapatan secara berkelanjutan (Anyaegbunam et.all, 2004). Oleh karena itu desain perencanaan komunikasi bagi pembangunan sangat penting.
Walaupun beberapa studi kasus menjadi contoh relevan bagi pengimplementasian kebijakan desentralisasi yang sama dalam konteks nasional, namun masing-masing tetap saja memiliki keunikan. Namun kenyataannya banyak peneliti lebih sering berbicara tentang prinsip-prinsip yang dijalankan.  Beberapa prinsip-prinsip untuk desain proyek komunikasi telah diusulkan oleh FAO, ODI dan DFID (2002) dan oleh IDRC (Gomez & Casadiego, 2002). Beberapa dari prinsip-prinsip ini relevan sebagai petunjuk dalam pengalaman kedua studi kasus di Uganda dan Mozambik menurut Ramirez dan Quarry adalah (1) Usulan solusi konkrit dan penggunaan teknologi yang realistis. (2) Menggerakkan/memajukan komunitas. (3) Belajar dari kesalahan. (4) Melokalisasi komunikasi global. (5) Bekerja dengan perspektif gender. (6) memberi peluang masyarakat mengutarakan pendapatnya. (7) Menghasilkan pengetahuan baru, mempertimbangkan muatan lokal; memastikan akses yang adil. (8) Pengelolaan pembiayaan informasi. (9) Membangun kapasitas. (10) Memperkuat sistem dan kebijakan-kebijakan yang ada.
Program penetapan kebijakan desentralisasi dan privatisasi pelayanan di pedesaan dengan perspektif strategi komunikasi di Uganda dan Mozambik dalam membangun partispasi dan keterlibatan masyarakat cukup baik namun ada beberapa hal yang harus dicermati. Di Mozambik misalnya hanya dilakukan penelitian khalayak dimana informasi yang ditemukan mengenai masyarakat hanya sekitar sikap, pengetahuan, kemampuan, dan praktek. Sebagaimana dituliskan oleh Ramirez dan Quarry bahwa penelitian khalayak di Mozambik dilakukan untuk menemukan informasi dari beragam kelompok target.  Jenis-jenis informasi tersebut sebagai berikut:
·         Peran kelompok individu dalam menyediakan air ( perasaan dan kenyataan)
·         Sikap pada isu-isu pembayaran komunitas ( kekhawatiran dan harapan)
·         Kemampuan dan kesediaan untuk membayar
·         Sikap terhadap pelayanan pemerintah
·         Sikap terhadap pengelolaan sendiri
·         Jaringan komunikasi
·         Metode yang dipercaya untuk menerima informasi
·         Pengetahuan, sikap dan praktek mengenai praktek sanitasi
·         Pengetahuan, sikap dan praktek mengenai praktek air bersih
Penelitian ini dilakukan selama dua minggu oleh tim komunikasi yang terdiri dari anggota radio mozambik dan agen pengairan.  Kegiatan penelitian partisipatori ini dilakukan di distrik yang di pilih. Bentuk yang dikembangkan adalah focus group diacussion dengan beragam kelompok komunitas (laki-laki dan perempuan), kuesioner dan menggunakan video untuk mendokumentasikan diskusi.
Kelemahan dari metode pengumpulan informasi seperti ini adalah pertama, masyarakat tidak dilibatkan secara langsung dalam menganalisis permasalahan dan menetapkan kebutuhannya sehingga mereka tidak dilibatkan secara penuh dalam proses desain perencanaan program. Penetapan program cenderung top-down. Kedua, masyarakat tidak dilibatkan dalm proses pengambilan keputusan mengenai penggunaan metode komunikasi dan penggunaan media karena agen pemerintah memaknai pendapat masyarakat berdasarkan perspektif mereka. Ketiga penelitian khalayak dengan menggunakan metode terbatas seperti di atas menyebabkan pendekatan yang dilakukan tidak menyeluruh sehingga tidak menggambarkan situasi masyarakat yang sesungguhnya. Keempat, keterlibatan masyarakat hanyalah menjadi partner yang aktif dari agen pemerintah.
Anyaegbunam et, all (2004) telah mengembangkan sebuah metode desain perencanaan komunikasi bagi masyarakat di pedesaan yang selama ini dianggap berhasil dalam pencapaiannya dan telah diterapkan pada berbagai komunitas dan masyarakt secara luas di Ethiopia, Namibia, Zambia, Swaziland, Zimbabwe, Sudan, United Republik of Tanzania, Africa Selatan, dan Malawi.  Metode yang kemudian dikenal sebagai Partisipatory Rural Communication Appraisal (PRCA) adalah suatu metode gabungan dari berbagai pendekatan yang telah ada sebelumnya seperti  Paticipatory Rural Appraisal (PRA), Participatory Learning and Action (PLA), model riset kualitatif dan kuantitatif juga etnografi, menggabungkan ide-ide dan teknik-teknik dari Logical Framework Phenomenology (LFP), Objective Oriented Project Planning (OOPP), serta penelitian periklanan dan pemasaran. PRCA berangkat dari pemikirn bahwa komunikasi sebagai sebuah proses interaktif yang ditandai dengan pertukaran ide, informasi, sudut-pandang dan pengalaman antara individu dan kelompok. Komunikasi merupakan proses dua arah yang melihat semua orang sebagai sumber informasi penting yang pantas didengarkan. Semua aktor mempunyai kedudukan yang sama dalam Pembangunan.
PRCA memfasilitasi dialog diantara masyarakat pedesaan itu sendiri dan antara masyarakat pedesaan dengan para agen pembangunan agar semua pihak memperoleh pemahaman bersama dalam perencanaan kegiatan. Hal ini sebenarnya juga dinginkan dalam pelaksanaan program desentralisasi dan privatisasi pelayanan di Uganda dan Mozambik, sebagaimana ditulis Ramirez dan Quarry mengenai kasus di Uganda bahwa dengan Demand – Responsive Approach (DRA), membutuhkan suatu perubahan sikap, praktek dan perilaku dari semua para pihak. Pemeritah harus berubah dari menjadi penyedia layanan (dan pengawas)- untuk pembelajaran dalam memudahkan suatu sistem yang  bekerja -di sektor privat menjadi  level komunitas. Komunitas tidak akan lama menjadi penerima yang pasif tetapi harus belajar melayani kebutuhan sendiri dan menjadi peserta aktif dalam memenuhi dan mengatur sistem yang mereka miliki. Tingkat keterlibatan komunitas, kesadaran, partisipasi, dan keterampilan merupakan poin bagi kekuatan komunikasi.
Namun dalam tataran implementasi di Uganda, menurut Ramirez dan Quarry, hal tersebut masih memerlukan usaha keras dari pemerintah untuk menjelaskan prosedur pendekatan respon-permintaan. Beberapa pertanyaan yang membutuhkan penjelasan terkait permasalahan teknis pelaksanaan pembangunan dan keberlanjutannya tidak dapat dipecahkan oleh pemerintah, sebab hal-hal tersebut masih membutuhkan formulasi strategi komunikasi yang tepat untuk menutupi kekurangan dalam perencanaan komunikasi sehigga dapat dihasilkan materi komunikasi yang baik.
Kelebihan PRCA dibandingkan metode lainnya adalah mampu menciptakan dialog untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi  permasalahan, pengetahuan, pengalaman, perasaan dan sikap berdasar persepsi masyarakat dengan cara investigasi, mengetahui karakteristik kelompok yang berbeda dalam masyarakat dan membantu memetakan pola dan jaringan komunikasi yang ada. PRCA  dikembangkan untuk memastikan bahwa program komunikasi untuk pembangunan benar-benar merupakan realitas yang ada di masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan  menggunakan metode visual dan memfasilitasi komunitas dengan teknik-teknik untuk memunculkan, menganalisis dan mempresentasikan data sehingga peneliti akan dapat menerapkan dan memastikan bahwa usaha pembangunan benar-benar merupakan realitas dari grassroot untuk merespon apa yang menjadi kebutuhan, kemampuan dan pengetahuan lokal.
Mengisi kekosongan konsep desain perencanaan komunikasi, (Anyaegbunam et.all, 2004) mengembangkan sejumlah prinsip yang penting dalam melakukan desain perencanaan komunikasi bagi pembangunan yaitu: (1) Particiption, masyarakat terlibat dalam semua proses, yaitu investigasi, pengumpulan data, dan presentasi,  belajar untuk merencanakan dan melakukan implementasi. (2) Reverseal of learning, Pengetahuan lokal masyarakat diapresiasi dengan mengubah sikap dan perilaku fasilitator dengan memberi kesempatan pada masyarakat untuk menjelaskan dengan istilah mereka sendiri, pandangan mereka atas diri sendiri. (3) Sharing, fasilitator sharing pengetahuan dengan komunitas. (4) Sensitivity of Gender, memberi kesempatan kepada perempuan untuk menyampaikan opininya dan terlibat dalam semua proses pembangunan. (5) Optimal Ignorance, fasilitator hanya mengetahui apa yang menjadi kebutuhan masyarakat tetapi masyarakat yang memutuskan untuk tindakan ke depan. (6) Rapid but Rilexed,
membangun hubungan dan kepercayaan komunitas dengan cepat tetapi dalam suasana yang santai agar masyarakat dapat memikirkan permasalahannya dan mendapatkan solusi yang akan diimplementasikan (7) Flexible and adaptive,  dapat diterapkan dalam beberapa bentuk, kondisi dan konteks yang berbeda (berbagai macam sektor pembangunan), dan siap beradaptasi dengan kondisi lapangan, menyatu dalam agenda dan jadwal masyarakat (people framework). (8) Fieldwork. observasi dan belajar dari masyarakat. (9) Triangulasi, melakukan verifikasi informasi yang dikumpulkan, melihat situasi yang sama dari sudut pandang yang berbeda, pengecekan informasi dengan beberapa segmen dalam komunitas sehingga lebih mudah mengidentifikasi dan resolve pertentangan
Apabila prinsip-prinsip tersebut, dapat diterapkan dalam kegiatan di Uganda dan Mozambik, relative dapat menjawab berbagai kelemahan yang ditemukan pada program di sana. Sebab, dalam PRCA, metodologi yang digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi dalam komunitas dan masyarakat menggunakan dua indikator, yaitu indikator kualitatif yang didapatkan dengan alat dan teknik PRCA dan indikator kuantitatif yang ditemukan dengan metode baseline study. Sehingga ia tidak hanya mengumpulkan informasi mengenai sikap, pengetahuan, kemampuan, dan praktek-praktek komunitas dan masyarakat tetapi juga mengumpulkan informasi tentang kebutuhan, peluang, permasalahan, dan solusi yang diartikulasikan oleh masyarakat sebagai pengetahuan endogenous mereka. Dalam aktivitas ini, interaksi antara fasilitator PRCA dan masyarakat berlangsung dengan intensitas tinggi.


  1. Desain Perencanaan Komunikasi
Ramirez dan Quarry menawarkan suatu model tahap perencanaan komunikasi yang dimodifikasi dari model sebelumnya. Model ini terdiri dari enam tahap, dimana tahap pertama adalah tahap penelitian yang dilakukan oleh suatu tim yang dibentuk oleh pemerintah. Penelitian ini merupakan penelitian khalayak, Tahap berikutnya adalah tahap perencanaan yang menitikberatkan   pada isi dan desain pesan, seleksi media, mtode belajar dan definisi indicator pengaruh. Pada tahap ketiga adalah memproduksi media, membuat langkah-langkah pembelajaran, tahap keempat melakukan uji lapangan terhadap materi media dan pembelajaran, serta mengerjakan kemungkinan revisi atas berbagai kekurangan yang kemudian muncul terhadap materi media dan pembelajaran, tahap kelima adalah pelaksanaan dan tahap terakhir adalah monitoring, evaluasi dan adaptasi.  
Dalam desain yang merupakan modifikasi tahap-tahap perencanaan komunikasi terlihat bahwa proporsi perancangan komunikasi dan desainnya belum mendalam dan menyentuh esensi yang sebenarnya dari perspektif komunikasi karena pada rancangan model tersebut pada tahap penelitian, perencanaan dan produksi hanya melihat apa dan bagaimana saluran komunikasi yang disukai masyarakat, bagaimana mendesain pesan dan memilih media serta produksi pesan media.
Sementara itu, kelebihan PRCA adalah kemampuannya untuk mengakomodasi berbagai informasi secara signifikan dari masyarakat. Beberapa informasi di antaranya yang dapat dikumpulkan adalah profil komunitas (bagaimana orang-orang merasakan dan mendefinisikan dunianya), sumberdaya informasi dan komunikasi dan jaringan-jaringan komunitas, persepsi komunitas atas kebutuhan, peluang, permasalahan, dan solusinya (NOPS) dan juga informasi tentang sikap, pengetahuan, kmampuan, dan praktek (AKAP), daftar dan penilaian NOPS, analisis pohon masalah dari permasalahan utama, jendela persepsi (WOPS), kelompok interaksi prioritas, potret atau karakteristik kelompok-kelompok interaksi, isu-isu komunikasi yang berhubungan dengan permasalahan-permasalahan penting, sistem komunikasi dan jaringan-jaringan kelompok-kelompok interaksi, dan sumberdaya informasi yang digunakan dan lebih disukai oleh kelompok interaksi
Kelebihan model ini dari model-model sebelumnya adalah kemampuannya untuk menggali beragam informasi dari masyarakat baik NOPS maupun AKAP dengan metode-metode yang kreatif. Melibatkan berbagai saluran komunikasi dan penggunaan media komunikasi yang variatif. Model ini juga menggabungkan dua pendekatan penelitian dalam rangka mengumpulkan informasi dari masyarakat, yaitu metode lapangan PRCA  yang sangat partisipatif dan baseline study. Kelebihan lain yang dimiliki oleh model ini adalah tidak hanya menyelesaikan satu permasalahan dalam suatu komunitas atau masyarakat tapi juga berbagai permasalahan yang berhubungan dengan permasalahan utama, sehingga pemecahan masalaha yang ditawarkan bersifat holistik. Model ini dapat diadaptasi dalam melaksanakan berbagai macam program pembangunan.

D.    KESIMPULAN
Kasus-kasus di Uganda dan Mozambik menunjukkan bahwa model Demand-Responsive Approach (DRA) hanya berhasil dalam pelaksanaan jangka pendek namun, berbagai kekhawatiran muncul ketika program ini akan dilanjutkan karena besarnya pengaruh dan intervensi agen pembangunan dari luar. Masyarakat hanya menjadi partner aktif tetapi mereka kurang mandiri dalam mengartikulasikan permasalahan-permasalahan yang belakangan muncul ketika pihak proyek menginginkan keterlibatan masyarakat yang lebih besar dalam mengelola program tersebut.
Kesalahan yang banyak terjadi pada model perencanaan program adalah kurangnya perhatian terhadap peran komunikasi, atau kalaupun ada, komunikasi hanya seringkali dikaitkan dengan media sebagai saluran informasi. Padahal komunikasi seharusnya dipahami secara luas sebagai bagian yang penting dalam program, penyusunan program, dan materi program itu sendiri. Oleh karena itu ada bebarapa hal terkait komunikasi yang harus dipahami perencana dalam menyusun strategi komunikasi dalam program pembangunan:
·         Komunikasi adalah dialog. Komunikasi dua arah antara masyarakat dan pemerintah, atau antara masyarakat dan agen pembangunan dalam perencanaan program yang sesuai.
·         Komunikasi membantu individu untuk mengenal kebutuhan dan permasalahannya.
·         Pendekatan komunikasi berlangsung dalam konteks lokal, menggunakan bahan dan media lokal, teknik dan metode lokal serta dilakukan oleh orang-orang atau organisasi lokal.
·         Media yang tepat dapat bermanfaat untuk membantu mempercepat proses perubahan sosial.
·         Mengembangkan fungsi komunikasi, berarti mengembangkan anggota kelompok dan masyarakat untuk mengubah situasi mereka sendiri.
Berbagai model dan metode yang digunakan dalam perencanaan desain strategi komunikasi tidak selalu relevan dengan berbagai kasus yang ada di berbagai negara. Namun dengan sedikit improvisasi dan kreativitas, metode; teknik dan alat yang digunakan dalam Partisipatory Rural Communication Appraisal (PRCA) dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan program.
Beberapa kelebihan PRCA adalah kemampuannya untuk menggali beragam informasi dari masyarakat baik NOPS maupun AKAP. Model ini juga menggabungkan metode lapangan PRCA  yang sangat partisipatif dan baseline study. Kelebihan lain yang dimiliki oleh model ini adalah dapat menyelesaikan berbagai permasalaan dalam suatu komunitas atau masyarakat yang berhubungan dengan permasalahan utama.


DAFTAR PUSTAKA
Anyaegbunam, Chike, Mefalopulos, Paolo & Moetsabi, Titus (2004) “Participatory Rural Communication Appraisal: Starting with the People” A Handbook Second Edition, SADC Centre of Communication for Development & The Communication for Development Group FAO-UN Rome ISBN 92-5-105251-4.   www.fao.org/y5793e00.prca.pdf   (21/11/2007-4.20PM)

Figueroa, Maria Elena,  D. Lawrence Kincaid, Rani, Manju & Lewis, Gary (2002) “Communication for Sosial Change: An Integrated Model for Measuring the Process and Its Outcomes” The Communication for Sosial Change Working Paper Series: No.1/2002  Johns Hopkins University’s Center for Communication Programs for the Rockefeller Foundation ISBN: 0-89184-065-6 www.communicationforsosialchange.org/ communicationforempowerment.pdf (5/1/2009-8.05PM)

Gómez, R. and Casadiego, B. (2002) ‘Letter to Aunt Ofelia: Seven proposals for human development using new information and communications technologies’. International Development Research Centre/PAN Américas, Raíces Mágicas and Ottawa: Intermediate Technology Development Group. http://web.idrc.ca/en/ev-8199-201-1 (5/1/2009-7:22PM)

Ife, Jim & Tesoriero, Frank (2008) “Community Development”: Alternatif Pengemangan Masyarakat di Era Globalisasi, edisi ke-3.Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Melkote, Srinivas R. & Steeves, H. Leslie (2001) “Communication Strategies for Empowerment” dalam Communication for Development in the Third World: Theory and Practice for Empowerment 2nd Edition. New Delhi: Sage Publicaton – London:  Thousand Oaks

Mulyana, Deddy (2005) “ Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar” . Bandung: Remaja Rosda Karya

Ramirez, Ricardo dan Quarry, Wendy (2004) Communication strategies in the age of decentralisation and privatisation of rural services: lessons from two african experiences”. Jurnal AgREN (Agriculture Research and Extention Network) Network Paper No.136 July 2004. http://odi.org.uk/agrenpaper_136_web.p65.pdf  (5/1/2009-7:51PM)

Rockefeller Foundation (2001). 'Communication for Sosial Change- A Position Paper and Conference Report.' New York, NY: Rockefeller Foundation.

Scheidel, Thomas M. (1976) “Speech Communication and Human Interaction”. Edisi ke-2. Glenville Illinois: Scot Foresman & Co

Servaes, Jan, Jacobson, Thomas L. & White, Shirley A. (1996) “Participatory Communication for Sosial ChangeNew Delhi: Sage Publication – London: Thousand Oaks

 UNDP (2006) “Communication for Empowerment: Developing Media Strategies in Support of Vulnerable Groups: Practical Guidance Note” Bureau for Development Policy,  Democratic Governance Group  www.communicationforsosialchange.org/c4e.desktop-publishing.ha3/communicationforempowerment.pdf (5/1/2009-7.09PM)

Zimmerman, Gordon I., Owen, James L. & Seobert, David R. (1977) “Speech Communication: A. Contemporary Introduction”. St. Paul: West


























[1] Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Haluoleo Kendari
[2] Jurnal AgREN (Agriculture Research and Extention Network) Network Paper No.136 July 2004

Print Friendly and PDF