Sabtu, 19 Mei 2012

Simbolisasi dan Pemaknaan Kekuasaan Semar Mbangun Kayangan

Konon suatu ketika, menurut pencerita Ki Lurah Semar gundah gulana hatinya. Hal ini menyebabkan ia beberapa kali tak menghadiri pertemuan di negeri Amarta. Melihat lelaku Semar, petruk sang anak menanyakan gerangan penyebabnya. Semar hanya mengatakan bahwa ia galau memikirkan nasib Para Pandawa ke depan. Ia ingin membantu, namun ia membutuhkan sejumlah pusaka Amarta. Oleh karena itu Semar memerintahkan petruk agar berangkat ke Negeri Amarta menghadap Raja Puntadewa  untuk meminjam jimat kalimasada, payung kencana, dan tombak untuk membangun kayangan.
Singkat cerita, petruk menemui Puntadewa yang saat itu bersama ksatria Pandawa lainnya, Werkudara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Mendengar pesan Semar yang di Sampaikan oleh Petruk, Raja Puntadewa meminta pendapat para penggede Amarta lainnya, termasuk Krisna. Sayangnya Krisna tak menyetujui permintaan Semar, menurutnya keinginan untuk membangun Kayangan adalah hal yang mustahil, menyalahi kodrat Semar saat di turunkan ke dunia, dan akan membuat murka para dewa, karena urusan kayangan bukan tugas dan wewenag Semar. Maka niat Semar adalah keliru dan harus diluruskan.
Petruk menimpali bahwa keinginan Semar baik, oleh karena itu sebaiknya Ksatria Pandawa mendukungnya. Kengototan Petruk membuat Krisna muntab, bahkan menuduh Semar hanya akan menjadikan Ksatria Pandawa sebagai tameng dalam menghadapi murka para dewa saat Semar melanjutkan niatnya untuk membangun kayangan.
Benarkah Semar ingin membangun Kayangan yang di huni oleh para dewa? Sampai di sini kita akan digiring untuk memahami alur pemikiran Semar. Dan untuk memahaminya kita perlu mengetahui kontestasi budaya dimana tokoh ini dihidupkan. Semar adalah figure dalam pewayangan yang menggambarkan seorang Begawan, sosok punakawan yang menjadi penasehat Ksatria Pandawa sekaligus sebagai simbol rakyat jelata. Oleh karena itu ia dijuluki manusia setengah dewa.
Dalam dunia pewayangan, simbolisasi peran dan pesan sangat penting. Bentuk wajah dan tubuh sang tokoh menggambarkan sifat-sifat yang mewakili kepribadian yang dihidupkan oleh pencerita. Tokoh Ki Lurah Semar misalnya digambarkan berwajah bulat dan pucat, oleh karena itu ia juga disebut Ki Badranaya, badra berarti rembulan, naya berarti wajah. Dan juga dijuluki Nayantaka, naya berarti wajah, taka berarti pucat. Kedua julukan tersebut menyimbolkan bahwa Semar memiliki watak rembulan, yang dalam pusaka hasta brata, menunjukkan seorang yang tenang, tidak mengumbar hawa nafsu. Semareka den prayitna: semare artinya menidurkan diri, agar supaya batinnya selalu awas. Maka yang ditidurkan adalah panca inderanya dari gejolak api atau nafsu negatif. Ini merupakan nilai dari kalimat wani mati sajroning urip ‘berani mati di dalam hidup’. Perbuatannya selalu pasrah pada sang pencipta, dengan cara mematikan hawa nafsu negatif. Dengan demikian, dalam perspektif spiritual Semar mewakili watak yang sederhana, rendah hati, tulus, tidak munafik, tak pernah menunjukkan perasaan yang berlebihan. Pembawaannya tenang, memiliki ketajaman batin, jenius, kaya pengalaman hidup dan ilmu pengetahuan.
Wayang memiliki makna simbolik yang diyakini oleh masyarakat Jawa. Makna dan simbol pada dasarnya merupakan 2 unsur yangg berbeda namun berkaitan erat saling melengkapi. Dengan demikian simbol lebih merupakan bentuk lahiriah dari maksud, dan makna adalah isinya. Seni wayang sebagai suatu sistem budaya tidak dapat semata-mata dipahami sebagai ‘fine art’ seni murni, melainkan perlu dikaitkan dengan latar belakang sosial budaya masyarakat jawa, dimana wayang itu tumbuh dan terekonstruksi.
Budaya jawa, sebagaimana budaya timur lainnya dikenal memiliki banyak symbol-simbol social yang merepresentasikan filosofi, tujuan, dan perilaku masyarakatnya. Hal ini merujuk pada perkembangan budaya timur yang memang lahir dari budaya visual dan bukan budaya konsep sebagaimana budaya barat. Budaya jawa menjadi sangat artifiasial.
Dalam terminology jawa, tokoh Semar merupakan pengejawantahan dari simbol  pemelihara kebaikan, penjaga kebenaran, dan penghindar angkara. Tokoh Semar yang demikian hebat dalam tradisi penceritaan Mahabrata, bahkan mengilhami kitab Jangka Jayabaya untuk menggunakan tokoh ini sebagai sosok penasehat raja-raja yang memerintah tanah jawa yang hidup lebih dari 2500 tahun. Sosoknya kemudian dijewantahkan dalam figure Ki Sabdapalon dan Ki Nayagenggong, dua saudara kembar penasehat spiritual Raja-raja. Dalam berbagai lakon perwayangan sosoknya sangat misterius, seolah antara nyata dan tidak nyata. Ki Lurah Semar dalam konteks Sabdapalon dan Nayagenggong merupakan bapak atau Dahyang-nya manusia Jawa. Sikap dan sifatnya konon merepresentasikan sikap dan sifat manusia jawa.
Membangun kayangan dalam narasi perwayangan bukanlah membangun surganya para dewa, sebagaimana yang juga disalah mengerti oleh Krisna. Untuk memahami kayangan dalam perspektif Semar, harus ‘diteropong’ dari penempatan figur ini dalam sentral lakon penceritaan Mahabarata dimana Semar berperan sebagai penasehat Raja Puntadewa pemimpin Negeri Amarta. Dalam cerita dikisahkan bahwa saat itu negeri Amarta berada dalam situasi yang kritis, perilaku para pemimpin dan nayaka praja Amarta tidak merakyat lagi. Para pejabat istana mengalami degradasi moral. Para pemimpin yang seharusnya mengayomi dan melayani rakyatnya malah menjauh dan tidak merakyat. Bahkan, dalam memegang tampuk pemerintahan, para pemimpin jauh dari hati nurani.
Untuk memahami setiap symbol dalam pewayangan, obyek tersebut harus dipahami secara kontekstual dalam pakem ceritanya. Suatu objek yang menjadi symbol dalam cerita telah melalui proses pemikiran simbolis penciptanya. Ketika sang pencerita menetapkan alur ceritanya maka ia menempatkan objek symbol dengan maksud dan makna tertentu menurut alur cerita. Obyek ini menjadi sangat penting menurut Mead, Blumer, dan Kuhn. Ia bisa menjadi apa saja dalam dunia nyata: benda, kausalitas, peristiwa dan kejadian. Satu-satunya persyaratan bagi ‘sesuatu’ menjadi obyek adalah ia diberi nama, yang mewakilinya secara simbolis, suatu realitas yang bermakna bagi masyarakat yang merupakan totalitas dari objek-objek social mereka yang selalu dinyatakan secara social. Oleh karena itu dalam membangun interpretasi makna, Blumer membedakan obyek dalam tiga tipe, yaitu fisikal (benda-benda), social (orang-orang), an abstrak (ide-ide)- yang keseluruhan memiliki arti melalui interaksi simbolik.
Simbol kayangan dalam filosofi perwayangan yang ingin dibangun Semar  adalah jiwa para pemimpin dan kawula Kerajaan Amarta. Jiwa pemimpin bagi Semar adalah kayangan di dunia, jagat kecil dimana rakyat hidup dan ternaungi. Pemimpin yang memiliki jiwa laksana kayangan akan mampu melindungi, memberi kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Karena ia jiwa dari negeri rakyatnya, maka ia tak berjarak dengan rakyat. Simbolisasi kayangan memberi pencerahan bahwa kehidupan bahagia layaknya di surga dapat dikecap oleh rakyat bila pemimpin dapat mengayomi dan melayani.
Untuk mewujudkan membangun kayangan, menurut Semar hanya dapat dilakukan dengan pusaka kalimasada, payung kecana, dan tombak. Perlu diketahui bahwa wayang dalam sejarah seni budaya jawa merupakan seni pertunjukan yang  diciptakan untuk menyebarkan agama islam, sehingga pengaruh ajaran islam dalam filosofi perwayangan sangat kental, misalnya dalam terminology hindu jawa dan bali tidak dikenal adanya sang maha tunggal, sang hyang widhi. Penganut politheisme menempatkan dewa-dewa sebagai sejajar dengan peran-peran yang berbeda. Tapi para penyebar agama islam di tanah jawa memasukkan sang hyang widhi sebagai dzat yang lebih besar dan berkuasa dari para dewa. Proses penyebaran agama islam yang berusaha mengakulturasi dalam agama budaya masa itu juga menyebabkan pengakulturasian symbol-simbol keagamaan dalam budaya masyarakat jawa.
Pusaka kalimasada yang dalam perwayangan digambarkan sebagai pusaka immateri dan abstrak sesunggunhnya merupakan symbol dari ucapan kalimat syahadat, ‘tiada tuhan selain Allah dan nabi Muhammad adalah utusannya. Maksud dari pusaka ini dalam lakon Mahabrata adalah bahwa negara Amarta hanya dapat ditegakkan bila Raja dan naya prajanya selalu eling lan netepi kodrat hyang widhi. Sementara, pusaka payung kencana merupakan simbolisasi dari perlindungan pemimpin terhadap rakyatnya, maksud dari pusaka ini bahwa negara Amarta dapat menjadi negara yang makmur dan sejahtera bila raja dapat menaungi, mengayomi, dan melayani rakyatnya. Sedangkan pusaka tombak adalah simbolisasi dari penegakan hokum dan keadilan. Simbol tombak berarti negara Amarta dapat menjadi kuat bila raja memerintah dengan adil dan bijaksana.
Salah satu kelebihan dari cerita pewayangan adalah ia masih relevan bahkan dalam  konteks kekinian. Lakon Semar mbangun kayangan bisa saja dijadikan sebagai sarana untuk mengingatkan bagaimana seharusnya pemimpin menjalankan pemerintahannya. Cerita ini syarat dengan makna yang bersifat konstruktif. Mungkin para pemimpin perlu sesekali mendengar, belajar, dan meneladani cerita ini, karena membangun kayangan dapat dimaknai sebagai membangun negara yang aman, damai, makmur dan sejahtera dimulai dari membangun kepribadian pemimpinannya. Untuk itu diperlukan pribadi pemimpin yang berpegang teguh pada ‘kalimasada’, pada ajaran agama, undang-undang, dan peraturan yang berlaku di dalam negara. Mampu melindungi rakyatnya dengan ‘payung kencana’ yang menaungi, mengayomi, dan melayani. Dan berani menegakkan kebenaran dan memerangi keangkaramurkaan dengan ‘tombak’ keadilan.
Toh hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin tidak hanya melulu relasi kekuasaan. Ada hubungan simbiosis mutualisme, dimana sang pemimpin membutuhkan rakyatnya sebagai syarat mutlak keberadaannya untuk melegalkan kekuasaan, sementara rakyat membutuhkan pemimpin sebagai figur pelindung, panutan, pemberi aturan, pengayom dan sebagainya. Oleh karena itu pemimpin dalam kesehariannya harus berpihak pada rakyat, tidak menjaga jarak dengan rakyat dan tidak disibukkan dengan hal-hal formalitas dan protokoler semata. Karena ia bekerja untuk rakyat.
Wajar jika kemudian petruk, yang saat itu ke Amarta atas perintah Ki Lurah Semar, marah besar saat Krisna menyatakan bahwa para punakawan itu hanya  orang kecil, ‘gedhibal pitulikur,’ babu  yang melayani Pandawa. Dalam muntabnya Petruk berseru bahwa Puntadewa dapat menjadi raja karena asuhan para punakawan. Bahwa ia naik tahta karena dukungan orang-orang kecil, dan sudah sepatutnya ia mengingat rakyat kecil ini ketika ia berkuasa, bukan menjadikan mereka seperti keset dan alas kaki.
Barangkali nasehat Sang Hyang Wenang kepada Semar perlu di simak untuk mengingatkan bahwa seorang pemimpin harus memberikan pencerahan yang bijaksana. Pemimpin harus menerima perbedaan atau pluralisme yang ada. Tidak memihak salah satu golongan dan harus bertindak adil kepada rakyatnya. Negara, bagaimanapun juga dibangun berdasarkan masyarakat yang plural atau majemuk dan berasal dari berbagai suku, ras, dan agama, segala perbedaan itu sebagai kekuatan dan jati diri dalam membangun bangsa.


Print Friendly and PDF