Konon suatu ketika,
menurut pencerita Ki Lurah Semar gundah gulana hatinya. Hal ini menyebabkan ia
beberapa kali tak menghadiri pertemuan di negeri Amarta. Melihat lelaku Semar,
petruk sang anak menanyakan gerangan penyebabnya. Semar hanya mengatakan bahwa
ia galau memikirkan nasib Para Pandawa ke depan. Ia ingin membantu, namun ia
membutuhkan sejumlah pusaka Amarta. Oleh karena itu Semar memerintahkan petruk agar
berangkat ke Negeri Amarta menghadap Raja Puntadewa untuk meminjam jimat kalimasada, payung
kencana, dan tombak untuk membangun kayangan.
Singkat cerita, petruk
menemui Puntadewa yang saat itu bersama ksatria Pandawa lainnya, Werkudara,
Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Mendengar pesan Semar yang di Sampaikan oleh Petruk,
Raja Puntadewa meminta pendapat para penggede Amarta lainnya, termasuk Krisna.
Sayangnya Krisna tak menyetujui permintaan Semar, menurutnya keinginan untuk
membangun Kayangan adalah hal yang mustahil, menyalahi kodrat Semar saat di
turunkan ke dunia, dan akan membuat murka para dewa, karena urusan kayangan
bukan tugas dan wewenag Semar. Maka niat Semar adalah keliru dan harus
diluruskan.
Petruk menimpali bahwa
keinginan Semar baik, oleh karena itu sebaiknya Ksatria Pandawa mendukungnya.
Kengototan Petruk membuat Krisna muntab, bahkan menuduh Semar hanya akan
menjadikan Ksatria Pandawa sebagai tameng dalam menghadapi murka para dewa saat
Semar melanjutkan niatnya untuk membangun kayangan.
Benarkah Semar ingin
membangun Kayangan yang di huni oleh para dewa? Sampai di sini kita akan
digiring untuk memahami alur pemikiran Semar. Dan untuk memahaminya kita perlu
mengetahui kontestasi budaya dimana tokoh ini dihidupkan. Semar adalah figure
dalam pewayangan yang menggambarkan seorang Begawan, sosok punakawan yang
menjadi penasehat Ksatria Pandawa sekaligus sebagai simbol rakyat jelata. Oleh
karena itu ia dijuluki manusia setengah dewa.
Dalam dunia pewayangan,
simbolisasi peran dan pesan sangat penting. Bentuk wajah dan tubuh sang tokoh
menggambarkan sifat-sifat yang mewakili kepribadian yang dihidupkan oleh
pencerita. Tokoh Ki Lurah Semar misalnya digambarkan berwajah bulat dan pucat,
oleh karena itu ia juga disebut Ki Badranaya, badra berarti rembulan, naya
berarti wajah. Dan juga dijuluki Nayantaka, naya berarti wajah, taka berarti
pucat. Kedua julukan tersebut menyimbolkan bahwa Semar memiliki watak rembulan,
yang dalam pusaka hasta brata, menunjukkan seorang yang tenang, tidak mengumbar
hawa nafsu. Semareka den prayitna: semare artinya menidurkan diri, agar
supaya batinnya selalu awas. Maka yang ditidurkan adalah panca inderanya dari
gejolak api atau nafsu negatif. Ini merupakan nilai dari kalimat wani mati sajroning urip ‘berani mati di
dalam hidup’. Perbuatannya selalu pasrah pada sang pencipta, dengan cara
mematikan hawa nafsu negatif. Dengan demikian, dalam perspektif
spiritual Semar mewakili watak yang sederhana, rendah hati, tulus, tidak
munafik, tak pernah menunjukkan perasaan yang berlebihan. Pembawaannya tenang,
memiliki ketajaman batin, jenius, kaya pengalaman hidup dan ilmu pengetahuan.
Wayang memiliki makna
simbolik yang diyakini oleh masyarakat Jawa. Makna dan simbol pada dasarnya
merupakan 2 unsur yangg berbeda namun berkaitan erat saling melengkapi. Dengan
demikian simbol lebih merupakan bentuk lahiriah dari maksud, dan makna adalah
isinya. Seni wayang sebagai suatu sistem budaya tidak dapat semata-mata
dipahami sebagai ‘fine art’ seni
murni, melainkan perlu dikaitkan dengan latar belakang sosial budaya masyarakat
jawa, dimana wayang itu tumbuh dan terekonstruksi.
Budaya jawa,
sebagaimana budaya timur lainnya dikenal memiliki banyak symbol-simbol social
yang merepresentasikan filosofi, tujuan, dan perilaku masyarakatnya. Hal ini
merujuk pada perkembangan budaya timur yang memang lahir dari budaya visual dan
bukan budaya konsep sebagaimana budaya barat. Budaya jawa menjadi sangat
artifiasial.
Dalam terminology jawa,
tokoh Semar merupakan pengejawantahan dari simbol pemelihara kebaikan, penjaga kebenaran, dan
penghindar angkara. Tokoh Semar yang demikian hebat dalam tradisi penceritaan
Mahabrata, bahkan mengilhami kitab Jangka Jayabaya untuk menggunakan tokoh ini
sebagai sosok penasehat raja-raja yang memerintah tanah jawa yang hidup lebih
dari 2500 tahun. Sosoknya kemudian dijewantahkan dalam figure Ki Sabdapalon dan Ki Nayagenggong, dua
saudara kembar penasehat spiritual Raja-raja. Dalam berbagai lakon perwayangan
sosoknya sangat misterius, seolah antara nyata dan tidak nyata. Ki Lurah Semar
dalam konteks Sabdapalon dan Nayagenggong merupakan bapak atau Dahyang-nya
manusia Jawa. Sikap dan sifatnya konon merepresentasikan sikap dan sifat
manusia jawa.
Membangun kayangan dalam narasi perwayangan bukanlah
membangun surganya para dewa, sebagaimana yang juga disalah mengerti oleh
Krisna. Untuk memahami kayangan dalam perspektif Semar, harus ‘diteropong’ dari
penempatan figur ini dalam sentral lakon penceritaan Mahabarata dimana Semar
berperan sebagai penasehat Raja Puntadewa pemimpin Negeri Amarta. Dalam cerita
dikisahkan bahwa saat itu negeri Amarta berada dalam situasi yang kritis, perilaku
para pemimpin dan nayaka praja Amarta tidak merakyat lagi. Para pejabat istana
mengalami degradasi moral. Para pemimpin yang seharusnya mengayomi dan melayani
rakyatnya malah menjauh dan tidak merakyat. Bahkan, dalam memegang tampuk
pemerintahan, para pemimpin jauh dari hati nurani.
Untuk memahami setiap symbol dalam pewayangan, obyek tersebut
harus dipahami secara kontekstual dalam pakem ceritanya. Suatu objek yang
menjadi symbol dalam cerita telah melalui proses pemikiran simbolis penciptanya.
Ketika sang pencerita menetapkan alur ceritanya maka ia menempatkan objek
symbol dengan maksud dan makna tertentu menurut alur cerita. Obyek ini menjadi
sangat penting menurut Mead, Blumer, dan Kuhn. Ia bisa menjadi apa saja dalam
dunia nyata: benda, kausalitas, peristiwa dan kejadian. Satu-satunya
persyaratan bagi ‘sesuatu’ menjadi obyek adalah ia diberi nama, yang
mewakilinya secara simbolis, suatu realitas yang bermakna bagi masyarakat yang
merupakan totalitas dari objek-objek social mereka yang selalu dinyatakan
secara social. Oleh karena itu dalam membangun interpretasi makna, Blumer
membedakan obyek dalam tiga tipe, yaitu fisikal (benda-benda), social
(orang-orang), an abstrak (ide-ide)- yang keseluruhan memiliki arti melalui
interaksi simbolik.
Simbol kayangan dalam filosofi perwayangan yang ingin
dibangun Semar adalah jiwa para pemimpin
dan kawula Kerajaan Amarta. Jiwa pemimpin bagi Semar adalah kayangan di dunia,
jagat kecil dimana rakyat hidup dan ternaungi. Pemimpin yang memiliki jiwa
laksana kayangan akan mampu melindungi, memberi kesejahteraan dan kemakmuran
bagi rakyatnya. Karena ia jiwa dari negeri rakyatnya, maka ia tak berjarak
dengan rakyat. Simbolisasi kayangan memberi pencerahan bahwa kehidupan bahagia
layaknya di surga dapat dikecap oleh rakyat bila pemimpin dapat mengayomi dan melayani.
Untuk mewujudkan membangun kayangan, menurut Semar hanya
dapat dilakukan dengan pusaka kalimasada, payung kecana, dan tombak. Perlu
diketahui bahwa wayang dalam sejarah seni budaya jawa merupakan seni
pertunjukan yang diciptakan untuk
menyebarkan agama islam, sehingga pengaruh ajaran islam dalam filosofi
perwayangan sangat kental, misalnya dalam terminology hindu jawa dan bali tidak
dikenal adanya sang maha tunggal, sang hyang widhi. Penganut politheisme
menempatkan dewa-dewa sebagai sejajar dengan peran-peran yang berbeda. Tapi
para penyebar agama islam di tanah jawa memasukkan sang hyang widhi sebagai dzat yang lebih besar dan berkuasa dari
para dewa. Proses penyebaran agama islam yang berusaha mengakulturasi dalam
agama budaya masa itu juga menyebabkan pengakulturasian symbol-simbol keagamaan
dalam budaya masyarakat jawa.
Pusaka kalimasada yang dalam perwayangan digambarkan sebagai pusaka
immateri dan abstrak sesunggunhnya merupakan symbol dari ucapan kalimat
syahadat, ‘tiada tuhan selain Allah dan nabi Muhammad adalah utusannya. Maksud
dari pusaka ini dalam lakon Mahabrata adalah bahwa negara Amarta hanya dapat
ditegakkan bila Raja dan naya prajanya selalu eling lan netepi kodrat hyang widhi. Sementara, pusaka payung
kencana merupakan simbolisasi dari perlindungan pemimpin terhadap rakyatnya,
maksud dari pusaka ini bahwa negara Amarta dapat menjadi negara yang makmur dan
sejahtera bila raja dapat menaungi, mengayomi, dan melayani rakyatnya. Sedangkan
pusaka tombak adalah simbolisasi dari penegakan hokum dan keadilan. Simbol
tombak berarti negara Amarta dapat menjadi kuat bila raja memerintah dengan
adil dan bijaksana.
Salah satu kelebihan dari cerita pewayangan adalah ia masih
relevan bahkan dalam konteks kekinian.
Lakon Semar mbangun kayangan bisa saja dijadikan sebagai sarana untuk mengingatkan
bagaimana seharusnya pemimpin menjalankan pemerintahannya. Cerita ini syarat
dengan makna yang bersifat konstruktif. Mungkin para pemimpin perlu sesekali
mendengar, belajar, dan meneladani cerita ini, karena membangun kayangan dapat
dimaknai sebagai membangun negara yang aman, damai, makmur dan sejahtera
dimulai dari membangun kepribadian pemimpinannya. Untuk itu diperlukan pribadi pemimpin
yang berpegang teguh pada ‘kalimasada’, pada ajaran agama, undang-undang, dan
peraturan yang berlaku di dalam negara. Mampu melindungi rakyatnya dengan
‘payung kencana’ yang menaungi, mengayomi, dan melayani. Dan berani menegakkan
kebenaran dan memerangi keangkaramurkaan dengan ‘tombak’ keadilan.
Toh hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin tidak hanya
melulu relasi kekuasaan. Ada hubungan simbiosis mutualisme, dimana sang
pemimpin membutuhkan rakyatnya sebagai syarat mutlak keberadaannya untuk
melegalkan kekuasaan, sementara rakyat membutuhkan pemimpin sebagai figur
pelindung, panutan, pemberi aturan, pengayom dan sebagainya. Oleh karena itu pemimpin
dalam kesehariannya harus berpihak pada rakyat, tidak menjaga jarak dengan
rakyat dan tidak disibukkan dengan hal-hal formalitas dan protokoler semata.
Karena ia bekerja untuk rakyat.
Wajar jika kemudian petruk, yang saat itu ke Amarta atas
perintah Ki Lurah Semar, marah besar saat Krisna menyatakan bahwa para
punakawan itu hanya orang kecil, ‘gedhibal pitulikur,’ babu yang melayani Pandawa. Dalam muntabnya Petruk
berseru bahwa Puntadewa dapat menjadi raja karena asuhan para punakawan. Bahwa
ia naik tahta karena dukungan orang-orang kecil, dan sudah sepatutnya ia
mengingat rakyat kecil ini ketika ia berkuasa, bukan menjadikan mereka seperti
keset dan alas kaki.
Barangkali nasehat Sang Hyang Wenang kepada Semar perlu di
simak untuk mengingatkan bahwa seorang pemimpin harus memberikan pencerahan
yang bijaksana. Pemimpin harus menerima perbedaan atau pluralisme yang ada.
Tidak memihak salah satu golongan dan harus bertindak adil kepada rakyatnya. Negara, bagaimanapun juga dibangun berdasarkan masyarakat yang plural
atau majemuk dan berasal dari berbagai suku, ras, dan agama, segala perbedaan
itu sebagai kekuatan dan jati diri dalam membangun bangsa.